SEPULUH

640 65 3
                                    

Rasanya baru kemarin Bia melewati weekend di kota perantauan, dan sekarang ia harus mengulang hal yang sama. "Kenapa sih waktunya jadi cepet gini?"

Konon, waktu berlalu menjadi lebih cepat karena kita tenggelam dalam kegiatan yang menyenangkan dan membuat lupa waktu. Bener begitu?

Seperti biasa Elita yang merupakan teman satu kost Bia tak pernah absen untuk pulang ke kampung halamannya yang memiliki jarak tempuh hanya sekitar satu jam dari kota Semarang. Begitu juga dengan Anggun. Ah sudah dipastikan weekend ini Bia akan mengalami kegabutan.

"Ya elah tutup!" Bia mendecak kesal. Sudah dua kali ini ia melakukan cancel ojek online. Makanan yang ia pesan tidak tersedia karena banyak warung yang tutup. Hari semakin siang, Bia melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul dua belas. Bia masih sibuk memilih makanan yang sesuai dengan kantongnya, maklum orang tuanya baru bisa mengirimkan jatah mingguannya lusa.

"Huff, cepet banget dah jam segini." Bia memegangi perut sambil meringkuk, sepertinya cacing-cacing dalam perutnya sudah beronta-ronta meminta jatah.

"Oke deh coba lagi!"

TRING...

Satu pesan masuk whatsapp dari seseorang yang namanya sudah tersimpan dalam kontak telepon membuatnya terperanjat. Kedua sudut bibir Bia terangkat usai mengeja pesan yang baru saja ia baca.

(BASH_YUDHA) : Lagi apa, Bia?"

Pertanyaan mudah yang tak butuh jawaban panjang, seharusnya!

(BIA) : Lagi tiduran [delete]

(BIA) : Nggak ngapa-ngapain [delete]

(BIA) : Mainan hp [delete]

Dan akhirnya Bia hanya membalas dengan satu kata, Gabut.

(BASH_YUDHA) : "Udah makan?"

Lagi-lagi Bia mengalami kesulitan untuk sekedar membalas pertanyaan semudah itu dari Bash.

(Bia) : Udah kok tadi [delete]

(Bia) : Bentar lagi nih [delete]

(Bia) : Lagi mau pesen [delete]

Setelah melakukan typing berkali-kali Bia hanya menjawab singkat," Belum, hehehe."

Tak butuh jeda panjang, Bash melakukan panggilan melalui whatsapp. Bia segera menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Bash.

"Halo."

"Halo, Bi."

"Aku lagi mau makan nih, mau bareng?" Tanya Bash to the point.

"Ehm, mau makan ya?" jawab Bia tak langsung mengiyakan. Padahal dalam batinnya, ia sedang melonjak kegirangan.

"Kalau mau bareng aku jemput sekarang."

Bia beranjak dari kasur busanya dan berdiri menghadap ke cermin, tangannya merapikan rambutnya yang acak-acakan.

"Boleh."

"Oke, sepuluh menit lagi aku sampai."

"Oke."

Sambungan telepon terputus, Bia masih berdiri di depan cermin. Setelah mengoleskan bedak dan memakai lipstick untuk memulas bibirnya, ia segera keluar menunggu Bash yang akan mengajaknya makan.

Bia menunggu Bash di gazebo, tak lama kemudian iring-iringan sepeda motor memasuki halaman. Bia langsung mengenali jika itu adalah Bash. Ia berjalan mendekat namun tiba-tiba langkahnya terhenti, kedua mata Bia mengerjap. Ini pasti mimpi, iya ini mimpi!

Bia berusaha tersenyum semanis mungkin dan menahan desiran aneh yang ia rasakan. Ini pasti mimpi, iya Bia yakin ini mimpi! Tapi jika mimpi itu seindah ini, Bia rela untuk nggak bangun.

"Kok bengong!"

Tubuh Bia tersentak kaget saat Bash menepok bahunya. Barulah Bia tersadar jika ini bukanlah mimpi seperti yang diharapkannya.

"Oh iya, aku bawa temen nggak pa-pa kan?"

"Ha, oh, i-iya nggak pa-pa kok."

IYA BASH NGGAK PA-PA, BIA RELA, RELA BANGET MALAH KALAU TAHU TEMAN YANG KAMU BAWA ITU TERNYATA MAS GANTENG!

"Kenalin Bi, ini Pram temen satu jurusan, satu kost, masih jomlo juga."

Yay..finally Bia tahu nama gebetannya selama ini. Pram, namanya Pram jurusan ekonomi dan yang perlu digaris bawahi, doi masih jomlo.

"Halo, aku Bia."

OMG heloo, Tuhan akhirnya inilah saat-saat yang paling Bia tunggu.

Bucin Kasta TertinggiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang