Lebih cepat. Sinkron sempurna.
Jangan berkedip. Hanya bernapas.
Tahan rasa sakit. Kamu baik-baik saja.
Fragmen dari berbagai anak gadis memenuhi setiap sudut memori; netra kosong yang hanya tertuju ke depan, tidak ada riak suara selain desiran kesakitan berkedut dalam pirouette permanen, lengan menjuntai ke langit, tungkai bercumbu tanpa jeda melawan lantai kayu mengilap—keberanian untuk berhenti tidak berlaku, tidak boleh. Siluet ramping, postur elegan, gerakan optimal dengan sinkronisasi tanpa kekeliruan, paras yang terombang-ambing antara datar dan fokus; ruangan penuh dengan mesin yang bernapas.
Audrina Lind menatap dirinya di barisan terdepan, iris hijau zaitun bergeser hanya sesuai tempo dengan jiwa yang terlepas dari raga, seorang gadis yang sama sekali tidak mempunyai animo dalam balet, tapi entah bagaimana berakhir menjadi yang terbaik. Anak kesayangan Mother, senjata pamungkas; tak kenal takut, tak kenal ampun. Sebuah wajah baru, contoh bagi para mediocre—menetapkan kualitas murni dari emas, menyulitkan mereka untuk menumbangkan dirinya dari posisi teratas dan terbaik dalam sejarah di Sanctum.
Namun, seketika spektrum meliuk berubah menjadi hari dimana Audrina melakukan gencatan senjata, melawan pengaruh implan yang mengharuskan dirinya untuk patuh dan melayani. Untuk pertama kali setelah sekian lama, Mother menatapnya tajam dengan raut kekecewaan dan memuakkan; satu yang menggambarkan sedang menunggu, siap untuk membunuh. Gelombang kenangan meluluh lantakan otak pada momen ketika Audrina memutuskan untuk melarikan diri dari Sanctum, mengingatkan dia pada gadis berusia sembilan tahun yang hanya memahami keramahan, kebahagiaan, kehidupan agung, dan keindahan dunia.
Lari. Lebih cepat. Sekarang.
Frasa yang terus mengendalikan pikiran, memimpin tungkai dan menibakan sang wanita ke lorong gelap di persimpangan jalan kota Queens; dua blok dari sebuah hotel bintang lima. Tidak ada yang memperhatikan—beruntung sekali—gumpalan darah maupun pakaian serba putih yang tentu sangat kontras dengan mereka yang sedang berlalu lalang. Audrina terperanjat dalam kesakitan, kebingungan, dan ketakutan; jenis perasaan yang belum pernah dia rasakan lagi ketika dia berada di Sanctum.
Dan demi kewarasan, betapa Audrina merindukan perasaan itu—setidaknya untuk beberapa saat.
Bodoh untuk berpikir bahwa Audrina benar-benar terpisah dari yang lain, terasingkan, tidak akan ada yang melihat, namun dia merutuki diri sendiri ketika tidak sengaja meloloskan sedu dari labium pucat pasi. Senapan sniper aksi baut Blaser R93 buatan Jerman yang sukses membenamkan proyektil ke bahunya—perlakuan untuk pembangkang—memaksa dia menciptakan pergerakan cepat; salah satu dari standar, kehilangan tenaga karena kehilangan darah. Tidak ada yang serius, Audrina hanya merasa sedikit fana setelah melenggang pergi dari Sanctum.
Hingga seorang pria menemukannya.
Itu bukan bagian dari rencana Audrina, tak seharusnya pria tersebut mendengar dan mencari tahu siapa yang sedang terisak di lorong remang tersembunyi; di bawah rintikan hujan menusuk. Namun, ketika kedua netra bertubrukan, semua yang Audrina rasakan hanyalah aliran kelegaan dan... rasa aman. Tetap, dia tidak langsung mempercayai sang pria meski dia sudah mencamkan bahwa dia bukan salah satu dari OLA; terlalu beresiko untuk menunjukkan kelemahan sekarang.
Kendati demikian, itulah yang Audrina lakukan setelah berupaya menjaga dirinya tetap hidup.
Netra mengerjap terbuka sebelum menelaah setiap sudut ruangan, sesekali memicing pada bias cahaya yang menyusup masuk dari jendela yang diliputi gorden tipis rona putih telur. Sungguh sederhana; ruangan persegi tema modern klasik dilapisi warna abu-abu serta lampu gantung di tengah langit kamar. Kehangatan luar biasa merengkuh seluruh tubuh Audrina, atmosfir yang sangat berbanding terbalik dengan dinginnya Sanctum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aegis
Fanfiction❝She's contagious, a sickness I'm dying to catch.❞ ──────────── Kim Seokjin • Female OC © yourdraga 2019