7 - A Shift in the Wind

328 70 34
                                    

Haruskah dia merasa takut? Haruskah dia waspada? Haruskah dia memarahinya? Haruskah dia mengusirnya dari apartemen?

Haruskah Seokjin mempercayai Audrina?

Keheningan hampa menimpa atmosfir, meredam benak Seokjin yang terlampau gaduh. Berbagai pertanyaan, keraguan, dan dugaan membentuk satu kesatuan di dalam diri, menggerogoti ketenangan pikiran yang sedari tadi berusaha untuk fokus.

Selama empat tahun, Seokjin mencoba menata ulang aspek-aspek kehidupan yang hilang; bergantung pada Queens dalam urusan membawa sedikit kedamaian dan berharap ada penebusan untuk membenarkan keputusan kala itu.

Namun, itu tentu tidak mudah, meski dengan seluruh normalitas yang Seokjin terima, dia masih merasakan hidupnya merosot jatuh.

Langit abu-abu mempertimbangkan opsi menuruni percikan tirta, cakrawala yang bersedih sekali lagi memiliki hasrat untuk mengguyur Queens. Tampaknya, cuaca membaca kegundahan seorang Kim Seokjin sehingga hawa berinisiatif untuk menemani.

Roda troli yang berderit menggesek lantai melontarkan gema abnormal, koridor hotel sungguh menjemukan dengan berbagai suara teredam dibalik dinding kokoh berwarna putih kekuningan.

Seokjin berusaha sangat keras mendorong pernyataan Audrina tadi pagi untuk tidak terngiang di otak, tapi layaknya sebuah lagu, setiap huruf masih melekat dan sesekali berkumandang dengan frekuensi melengking. Audrina tidak menjelaskan apapun setelah itu, dia hanya berkata sedemikian rupa dan mengharapkan pengertian dari Seokjin untuk tidak bertanya lebih detail, tidak sekarang.

Jika waktunya sudah tepat, aku akan menjelaskan semuanya.

Dan pertanyaan paling menonjol saat ini adalah kapan waktu yang tepat itu tiba? Seokjin tidak berkeinginan untuk menjamah lebih jauh tentang persoalan ini, memaksa Audrina untuk membeberkan seluruh kisah hanya akan mengacaukan kondisinya.

Ya, Seokjin dapat menjumpai penderitaan dan perjuangan dari sorot mata sayu namun menyimpan trilyun emosi, sentimen, dan kegilaan. Audrina terlalu sulit untuk dipahami, tapi Seokjin menyadari betapa besar jumlah beban yang ada dipundaknya.

Enggan untuk menyakiti Audrina lebih dalam, itulah alasan utama Seokjin memupuk segala rasa keingintahuannya. Pada akhirnya, Seokjin masih merupakan seorang pria yang bermoral dan santun; dia mengetahui batas dan dia tidak akan melampaui itu sebelum Audrina sendiri yang memberikan lampu hijau.

Tapi, Seokjin berbicara terlalu cepat.

Baru saja berpikiran hidup tidak dapat menjadi lebih membingungkan seperti di rumah, pemandangan dihadapannya justru menimbulkan kekisruhan dahsyat. Dengan penerangan yang payah, tirai-tirai tertutup rapat tanpa celah, ruang pertemuan terasa menjadi lebih mengancam.

Sebuah meja lengkap dengan guratan-guratan kasar kayu jati beserta dua belas kursi yang hanya diisi oleh dua figur manusia membuat Seokjin menganggap dirinya salah memasuki tempat, namun seketika dugaan itu sirna.

Seokjin terpaku, tungkai terasa lemas dan hampir menyerah untuk menyangga dirinya; mungkin darah sudah merembes keluar dari tubuh sehingga meninggalkan hanya impresi pucat pasi. Setiap orang kehilangan keberanian dan suara ketika bahaya membobol keamanan serta keselamatan seorang individu, dan sekarang, itulah yang terjadi padanya.

"Oh, Seokjin," ucap Tuan Han seraya mendecakkan lidah. "Kau seharusnya tidak berada di sini."

Intonasi nada yang dilepaskan oleh Tuan Han terdengar terlampau tenang, dingin, dan tajam. Bagaimana Ayah dari Han Jihoon itu melakukan hal serupa dengan sangat apik saat satu tangan sedang menempelkan sebuah pistol ke pelipisnya? Seokjin bersumpah dia hanya melakukan pekerjaannya; menyediakan kudapan untuk menciptakan pertemuan yang lebih bersahabat.

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang