8 - Good Company

269 64 25
                                    

Audrina tidak mengerti bagaimana peradaban masa kini bekerja. Tuhan, itu terdengar seperti wanita tersebut lahir di tahun 40-an—tidak, Audrina hanya sedikit bingung dan tersesat. Perspektif apa yang dimiliki semua orang hingga mereka membicarakan sesuatu yang tidak masuk akal namun berlagak layaknya seorang intelektual. Ya, dia membicarakan tentang acara televisi yang mengomentari dan mengkritik mode busana selebriti papan atas; memutuskan siapa yang terbaik dan terburuk.

Semudah itu, menertawakan dan menghina secara halus lalu mereka mendapatkan upah setelahnya. Tanpa menyampirkan pertaruhan hidup dan mati, mungkin kekelaman bagi mereka hanyalah sebatas penonton berkurang drastis atau dihentikannya masa tayang. Berbanding terbalik dengan cara bertahan hidup Audrina yang jauh dari definisi Utopia.

Selama bertahun-tahun, Audrina adalah seorang gadis dengan masa depan yang hilang, berusaha untuk tetap setia pada janji yang ia ciptakan demi keselamatan sang Ayah. Ini tidak adil, semua sangat tidak adil untuknya. Audrina masih berumur sembilan tahun ketika dia sudah harus memanggul beban dan pikiran tentang apa yang perlu ia lakukan agar Ayah tetap hidup—terlalu muda untuk menghadapi dunia dan kenyataan yang telah berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.

Audrina tumbuh dewasa dengan teror bergelimang, alam semesta yang tidak selalu berpihak padanya, dendam dan benci berlomba untuk mendapatkan peringkat nomor satu. Pertanyaan perihal hari esok menggema, keraguan apakah dia akan bertahan atau menyerah menjadi konstan dalam benaknya. Itu jalan hidup Audrina, tidak peduli seberapa menyakitkan—itulah hidupnya, satu yang masih beruntung ia dapatkan.

Tetap saja, terkadang murka berkecamuk hebat karena ketidakadilan sungguh memuakkan. Audrina selalu mencoba melihat dari kubu positif, mengevolusikan pikiran kau masih hidup, itu yang terpenting. Tetapi, Audrina lahir ke dunia sebagai manusia biasa, dia tidak terbuat dari baja; segala macam perasaan masih melapisi darah dan daging—bahkan, kecemburuan terhadap mereka yang tidak perlu menderita untuk mempertahankan nyawa kerap menginterupsi relung.

Blantika hidup stagnan Audrina yang masih belum memiliki tanda-tanda perbaikan begitu menyiksa hingga dia enggan memikirkan bagaimana akhir dari seluruh kronika dirinya.

Seokjin, yang sedari tadi memperhatikan Audrina begitu serius memandangi televisi, mengulum labium gentar. Meski hanya sekilas, dengan mata memicing, posisi duduk tegap dan terlampau tegang, sesekali mengepalkan tangan seolah sedang mengumpat dalam hati, Seokjin menyadari bahwa realita dan pikiran wanita tersebut saat ini sangat tidak sinkron.

Audrina tidak baik-baik saja. Netra hijau zaitun miliknya sering menyajikan figur seorang wanita yang tersakiti, tersesat, menjerit dalam kesunyian penderitaan; selalu sentimen yang sama, alhasil secara nyata membubuhkan fragmen kisah kelam.

Ya, Audrina memang sulit dipahami, namun itu tidak membutuhkan seorang jenius untuk menjumpai fakta bahwa wanita ini memiliki sayatan psikologis yang parah. Seokjin ingin membantu, sangat ingin—terlebih saat malam Mia berkunjung, tetangganya yang misterius itu lekas mengklarifikasi ucapan tempo hari tentang meninggalkan Audrina setelah sembuh.

Dia segalanya, kecuali berbahaya, katanya. Lakukan apa yang kau anggap benar, dia membutuhkan perlindungan? Berikan itu.

Mungkin tiga tahun belum bisa dibilang lama, tapi itu juga tidak sebentar. Sebanyak seribu sembilan puluh lima hari Seokjin mengenal Mia, satu-satunya tetangga yang merecoki tanpa henti tentang hidup sehat sebelum kematian dini akibat dari memaksakan diri meringkus nyawa. Entah karena magis atau apa, Mia selalu berhasil menebak kata sandi apartemennya dan mencecarkan filosofi kehidupan versi buatan sendiri agar Seokjin tidak gegabah.

Tanpa kesulitan, Mia mengambil alih peran Nyonya Kim di Queens, sekaligus seorang kakak perempuan yang tidak pernah dimiliki Seokjin. Meski masih terbilang misterius soal latar belakang, tingkat kepercayaan terhadap Mia tetap sudah terpahat setinggi gedung Burj Khalifa. Bagaimana tidak? Selama ini, Mia-lah yang sepenuhnya ikut ambil bagian dalam proses transformasi dari sosok pria yang hanya terperanjat dalam benang kusut menjadi sosok kompetitor Ibu Alam yang pantas.

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang