Bakso Raksasa Mas Adi, Bontonompo

44 12 1
                                    

- Ayana -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Ayana -


(03.48 pm)

"Mas, baksonya dua. Yang satu, jangan pake daun bawang, tapi banyakin bawang goreng sama daun sopnya."

Aku hanya memperhatikan Yuta memesan bakso untuk kami berdua. Banyak gaya, tapi aku terlanjur suka jadi kubiarkan saja. Lagipula apa sih motivasi makhluk aneh ini memakai kacamata di atas kepala? Keren sih, tapi tetap saja aneh. Untung sayang.

"Kita terakhir makan bareng kapan sih?" Tanyaku sambil iseng menarik tisu lalu membentuk gumpalan kecil.

Dear mas-mas tukang bakso, maafkan aku yang terlalu gabut ini.

"Seminggu sebelum uas, jadi sekitar sebulan yang lalu. Hm, kamu tahan juga gak ditemenin makan sebulan--HEH!"

Tisu yang sejak tadi kubentuk mendarat mulus di wajah Yuta.

"Emang aku anak kecil apa?"

Yuta cengegesan. Mengangkat tangannya membentuk V, berarti dia tidak mau kuamuk disini. Baguslah.

"Inget gak, Ay, waktu kecil kita berdua sering manjat pohon mangga?"

"Kamu yang manjat. Aku cuma memantau dari jauh."

"Halah, sama aja. Kita berkomplot."

"Abis itu kita kena marah karna ngambil mangga mengkal."

Aku tertawa mengingat sepenggal kejadian yang dimaksud Yuta. Kalau dipikir-pikir kami ternyata senakal dan seabsurb itu waktu kecil.

"Jadi pengen makan semangka."

"Random banget sih, Ay. Nyambung dimana cerita soal mangga ke semangka?"

"Pengen aja."

"Yaudah, entar kita beli."

"Serius? Janji loh, janji. Janji adalah hutang. Hutang kalo gak dibayar nanti matinya jadi arwah penasaran."

"Gimana ceritanya punya hutang bisa jadi arwah penasaran? Dapat teori dari mana coba?"

Yuta menertawai teori ajaibku. Biar kuberitahu, jaga-jaga jika ada yang lupa, kalau suara tawa Yuta itu menular. Entah lucu atau tidak, aku selalu bisa ikut tertawa.

"Ya, pokoknya gitu deh. Kan istilahnya ada urusan yang belum selesai, makanya bisa jadi arwah penasaran."

Mata Yuta menatapku serius. Kedua tangannya terlipat di atas meja.

"Berarti nanti kamu juga bakal jadi arwah penasaran, dong?"

"Lah? Kenapa aku? Emangnya aku pernah ngutang sama kamu?"

"Ada lah."

Aku memilih diam. Memikirkan hutang apa yang kupunya. Perasaan selama ini malah Yuta yang rajin meminjam uang tapi tidak pernah dikembalikan.

"Apaan?" Desakku.

"Hutang perasaan, hehehe."

Hampir saja aku melempar Yuta dengan garpu andaikan pesanan bakso kami tidak datang.

Yuta!

Tolong, jangan buat aku semakin jatuh.

"Ini yang bar-bar aku atau kamu, sih?" Ucapku sambil membersihkan kuah bakso di sekitar wajah Yuta dengan tisu. "Tau kok kamu doyan makan bakso, tapi makannya pelan-pelan. Jaga image dikit kek di depanku."

Kebiasaan!

Kalau di depan perempuan incarannya, Yuta selalu terlihat sempurna. Makan pelan-pelan, teratur, rapi. Tapi ketika di depanku, Yuta tidak berbeda dengan bocah lima tahun dengan rambut sedikit memerah karena sering terpapar sinar matahari yang dulu menemani hari-hariku. Seenaknya dan apa adanya.

"Apa liat-liat? Mikir jorok yah?!"

"Gak lah. Otakku bersih."

"Terus liatin apa?"

"Kamu."

"Kenapa? Ada bawang goreng di hidung aku?"

"Gak ada."

"Yuta."

"Hm?"

Aku meletakkan garpu dan sendokku.

"Anu..."

"Makan dulu, Ay. Entar aja ngomongnya."

Yuta menatapku dengan senyum tipis.

Pada akhirnya aku menurut. Menelan mentah-mentah kalimat yang hendak kuucapkan.

Setelah makan, kami langsung keluar dari warung. Sesuai perjanjian, Yuta yang membayar kali ini. Katanya hitung-hitung menutup hutang dia yang lalu-lalu.

Padahal aku hanya bercanda soal hutang itu. Ternyata dianggap serius.

"Udah kenyang?" Tanya Yuta, mulai menyalakan mesin mobilnya. "Tadi mau ngomong apa?"

"Gak apa-apa."

"Oke."

Mobil perlahan melaju ke jalan raya. Aku menurunkan sedikit sandaran kursi. Perlahan merasa mengantuk.

"Jangan lupa semangkanya."

"Iya, iya. Udah, kamu tidur aja."

"Jangan macam-macam!"

"Kalau aku mau macam-macam, udah dari dulu, Ay."

"Tindakan prefentif. Cowok kebanyakan gak bisa dipercaya."

"Tapi aku gak kayak cowok kebanyakan. Udah, sana tidur. Entar aku bangunin kalo udah di Jeneponto."

Aku bergumam sebagai jawaban. Mengambil posisi senyaman mungkin.

Entah ini bagian dari mimpi atau masih alam nyata, tapi aku merasakan tangan Yuta mengusap lembut kepalaku.

"Selamat tidur, Ayana-ku."

****

Tbc

Ini Mas Adi gak ada niat jadiin saya BA gituuhhh?????

Pulang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang