9 - The Great Pretender

245 63 28
                                    

Konfidensi bahwa Bumi itu datar telah digambarkan sebagai teori konspirasi pamungkas dalam beberapa tahun terakhir, bahkan seluruh anggota Flat Earth Society dengan berani dan yakin mengemukakan bahwa planet ini terlihat dan terasa datar, kemudian mengecam bukti-bukti potret Bumi sebagai bola dari NASA dan lembaga pemerintah lainnya, mengatakan bahwa itu adalah palsu—penipuan, rancangan untuk sekadar menyembunyikan kebenaran.

Baiklah, paragraf di atas memang tidak ada hubungannya dengan situasi seorang Kim Seokjin. Namun, sementara Seokjin bukanlah peminat teori bahwa pasti ada antimoon yang tak terlihat yang mengaburkan bulan selama gerhana bulan, ia meragukan semua teori yang ada karena detik ini, dunianya sedang berputar—terdistrosi secara bertahap. Tungkai bertumpu getir diatas lantai, penglihatan berangsur hilang, pendengaran yang dipenuhi dengungan samar-samar seolah saraf vestibular sedang mengalami gangguan.

Tidak. Itu tidak terlihat bahkan terasa datar, planet ini sungguh sedang memintal tangkas tanpa peduli seseorang berusaha menandingi kecepatan semerta-merta menegurkan fakta bahwa realita cenderung berubah, mengikuti poros alur yang tidak selamanya sama.

Selamatkan aku.

Untuk siapa kalimat itu ditujukan? Untuk apa ketukan tersebut melaju terburu-buru? Jika memang pria asing itu menyuguhkan kode untuk Audrina, mengapa dia melakukannya ketika si wanita sibuk memilah asal kebutuhannya dan sudah jelas sedang mengabaikan sekitar? Demi kebaikan, sebuah tatapan sukar nan familier yang memicu fragmenta masa lalu, mengapa pria tanpa nama itu menyerahkannya kepada Seokjin? Apakah Seokjin mengenalnya? Apakah mereka mengenal satu sama lain? Tidak mungkin.

Seokjin mengingat setiap adegan yang pernah terjadi dalam sejarah hidupnya, bahkan yang terpahit sekalipun. Sudut dan celah memoar mengisi otak tanpa pamrih, menghidupkan kembali kenangan tak berkesudahan. Dia tidak pernah bertemu, terlebih bercengkerama dengan pria itu. Sekilas, pandangannya berubah haluan, iris mendarat ke sebuah potret keluarga yang berdiri kukuh diatas perapian.

Apa kau benar-benar masih hidup?

Sengatan sendu memperkeruh manik, membekap jiwa semakin tidak berdaya, Seokjin refleks menempatkan satu tangan di dada—merasakan denyut jantung berdetak tak karuan. Curahan emosi secara brutal membilas keseluruhan sistem tubuh, gulungan riptide mencegat pasokan oksigen masuk sehingga menimbulkan kesesakan—kepedihan itu sungguh tak tertahankan.

Sakit. Sakit sekali, seolah cicatrix yang menodai hati terbuka dan berdarah lagi. Ada perubahan besar-besaran dalam hidupnya, dia menyadari itu. Dimulai dari kehilangan sahabat, ya, kosmos Kim Seokjin lambat laun berantakan tepat ketika hari itu berlangsung.

"Ketika aku bilang berikan dia perlindungan bukan berarti membawanya keluar dan membiarkannya berjalan sendirian. Kau bodoh atau apa, sih?" Suara Mia mengobrak-abrik lamunan, membawanya kembali ke realitas. Menolehkan kepala dan menemukan satu tangan wanita itu memijat pelipis sementara yang lain menggenggam ponsel, Mia berucap agak kesal, "Sialan. Kenapa Jimin tidak mengangkat telepon—ah, hei, aku butuh bantuanmu. Bawa peralatan medis juga, cepat. Jangan mampir untuk beli kue beras dulu, mengerti?"

Secara otomatis, Seokjin memandangi tangan yang masih bertautan dengan milik Audrina, menggenggam erat secara sepihak. Wanita ini kehilangan kesadaran tepat setelah mereka tiba di gedung apartemen. Ya, Audrina benar-benar menunggu hingga tempat familier menaunginya dan memastikan Seokjin juga sudah aman didalamnya sebelum dia berkutat dengan luka tembak yang lagi-lagi mencemari kulit porselen.

Dan Seokjin begitu panik, dia berakhir membisu hanya memperhatikan wanita tersebut tersungkur di sofa. Likuid merah langsung menggenangi permukaan lunak, menghamparkan bukti kebodohan Seokjin dalam keadaan malam genting yang sedang menyimpan seseorang nokturnal.

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang