XIX

1.2K 149 12
                                    

*dr.RITA's Point of View*

Pukul 13.35 pendeteksi yang berada di tangan Dylan memicu berbunyinya suara alarm. Di telepon genggamku tertampil sebuah lokasi yang jaraknya hanya sekitar 600 meter dari tempatku saat ini.

"Ri, gue pergi dulu ya. Urgent. Nanti gue kabarin lagi, oke?" pungkasku kepada Rian, tunangan sekaligus calon suami ku. Dia sudah hapal dengan semua kegiatanku, ketika ku katakan "urgent" maka dia tidak akan menanyakan apa-apa lagi dan langsung mengangguk mengizinkan.

Aku keluar cafe setengah berlari sambil mengenakan jaket kulit berwarna hitamku, di luar motor klasik kesayangan yang ku beri nama Si Hitam sudah menunggu seakan selalu siap mengebut di jalan setiap kali aku buru-buru atau terlambat. Kali ini tujuanku bukan lagi kampus atau cafe, melainkan Dylan. Dylan merupakan pasien pribadiku, kami sudah saling mengenal sejak kecil. Sebenarnya Dylan awalnya adalah pasien Mama yang terlebih dahulu menjadi seorang psikiater. Mama telah berteman dengan Mr. McKenzy sejak puluhan tahun yang lalu, usia ku pun hanya terpaut 4 tahun dari Sadrie. Aku selalu ikut ketika Mama melakukan terapi kepada Dylan, kemudian di saat Mama berpulang ke hadapan Tuhan aku dipercaya Mr. McKenzy untuk menggantikan posisi Mama.

Ku kenakan helm ku, lalu ku pacu Si Hitam secepat mungkin mengikuti arah yang ditunjukkan telepon genggamku. Tempat ini tidak jauh dari posisi Dylan mengalami meltdown untuk pertama kalinya sejak tahunan yang lalu. Ada apa? Ku naikan kecepatan hingga 90km/jam.

Tak lama aku berhenti di depan sebuah rumah, entah apa yang dilakukan Dylan di rumah yang nampaknya kosong sejak lama ini. Ku lepas helmku, lalu memastikan apakah aku berada di titik yang benar. Menurut lokasi yang tertera, Dylan hanya beberapa langkah saja dari ku. Apa yang dilakukannya di rumah ini?

"Dylan?" Panggilku, namun tidak ada suara. Akhirnya ku kuatkan hatiku untuk memasuki pekarangan rumahnya yang tidak terlalu besar. Semakin aku melangkah, aku bisa menangkap suara ringisan yang ku pikir berasal dari Dylan. Ku percepat langkahku, namun aku terhenti di depan pintu rumahnya. Seluruh tubuhku mematung, tidak bisa bergerak. Bulu kudukku berdiri. Beberapa langkah di depanku, ada Dylan sedang duduk di lantai sambil menahan tubuh ibunya yang penuh darah. Dylan menangis sambil mendekap ibunya, gelangnya sudah berkelap-kelip merah. Kakiku melemah, aku terjatuh di tempatku seakan tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Beruntung aku bisa mendengar suara sirine semakin mendekat. Sedetik kemudian aku tak sadarkan diri.

*SADRIE's Point of View*

Hal yang paling ku takutkan terjadi. Tadi sore teleponku berdering, alarm Dylan berbunyi. Di tengah perjalananku menuju lokasi, teleponku kembali berbunyi. Pihak kepolisian meneleponku, mengatakan bahwa aku harus segera menuju ke kantor polisi. Aku tidak bertanya lebih lanjut, karena sudah pasti hal buruk. Tindakan terbaik saat ini untukku adalah tenang.

Ku parkirkan mobilku tidak jauh dari pintu masuk kantor polisi, keadaannya tidak terlalu rame tapi hampir semua yang ada berwajah tegang. Ku hembuskan napas panjang beberapa kali, lalu keluar dari mobil. "Selamat malam, ada yang bisa dibantu?" sapa seorang pria paruh baya di meja resepsionis.

"Malam. Iya, saya Sadrie McKenzy tadi sore saya mendapat telpon dari kepolisian." Ucapku.

"Oh, iya. Silakan ditunggu ya."

Aku mengangguk lalu duduk di kursi tunggu, 3 menit kemudian seorang pria berusia 30 an dengan sepatu pantofel hitam yang mengkilat menghampiriku. "Maaf, bisa ikut saya?" katanya. Aku mengiyakan lalu mengikutinya naik ke lantai dua, belok ke kiri dua kali lalu belok ke kanan, sampailah kami di sebuah ruangan yang di tata seperti ruang tamu sederhana. Ia duduk di atas sofanya, aku juga ikut duduk ketika dia mempersilakan. "Perkenalkan saya Bernard. Anda kakak kandung dari Dilana McKenzy?" tanyanya.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang