(34)

3.5K 401 69
                                    

"Lo yakin setuju sama ajakan ketemu Dewi? Kalau dia ngamuk gimana Ran?" Fara terlihat khawatir tapi gue juga harus bersikap tenang, gue nggak mungkin terus menghindar, cepat atau lambat gue sama Dewi memang harus bicara, kenapa nggak ngejadiin ajakan bicara Dewi sebagai kesempatan baik.

"Gue udah menghindar terlalu lama dan kalau terus berlanjut, nggak akan ada penyelesaian apapun." Mau ngarepin Juna untuk mastiin perasaannya itu kapan?

"Perlu gue temenin nggak?" Tawaran Fara yang langsung gue tolak dengan gelengan pelan, kalau Fara ikut rasanya kurang pas, gimanapun ini masalah gue sama Dewi.

"Gue sendiri aja, gue bakalan bicara baik-baik, lo tenang aja." Selama gue bisa bersabar, keadaannya akan baik.

"Lo mau bicara baik-baik lah Dewi gimana? Gimana gue bisa tenang?" Gue nepuk lengan Fara pelan untuk meyakinkan, bukannya nggak menghargai tawaran Fara tapi apapun nanti keadaannya, gue tetap ngerasa pergi sendiri pilihan yang lebih baik.

"Ini ni yang bikin kesal, Juna kelamaan ambil keputusan jadi keadaan kalian nggak kelar-kelar, nggak ada kejelasan." Keluh Fara yang gue coba abaikan.

"Gue nggak mau ngebahas itu, lo pahamkan?" Urusan perasaan Juna mau gimana, itu biar jadi pemikirannya Juna sendiri, gue juga nggak mau maksa dan nggak mau berdebat, Juna mungkin sulit menentukan pilihan tapi gue enggak, gue bisa nentuin kebahagiaan gue sendiri.

"Yaudah kalau gitu lo hati-hati, apapun nanti cerita sama gue." Gue langsung setuju.

Setelah berhasil meyakinkan Fara, kita berdua misah dan Fara pulang lebih dulu sedangkan gue tetap di tempat, kebetulan gue sama Fara memang lagi diluar begitu Dewi ngajak ketemu jadi bisa sekalian, gue nggak harus buang-buang waktu lagi.

Cukup lama gue nunggu tapi Dewi belum juga keliatan hilalnya dan begitu gue berniat pergi, orangnya dateng langsung duduk dihadapan gue tanpa rasa bersalah sedikitpun, baru tadi gue ngomong kalau gue akan berusaha sabar dan sekarang kesabaran gue beneran di uji.

"Mau ngomong apa? Gue nggak punya banyak waktu." Kalimat pertama Dewi yang membuat gue langsung menganga nggak percaya.

"Bukannya lo yang ngajak ketemu gue tadi?" Gue tanya balik, tadi ngajak ketemu seolah ada hal penting nggak bisa ditunda.

"Lo yang salah kenapa harus gue yang ngomong duluan? Bukannya yang berhutang maaf itu lo, nggak sadar diri banget." Dan wah, gue kehabisan kata.

Narik nafas dalam, gue mencoba tetap sabar dan diam memperhatikan Dewi untuk sesaat, setelah gue pikir yaudahlah, memang bener gue yang salah jadi kalaupun harus gue yang ngomong duluan, apa boleh buat, gue terima.

"Gue yang salah, gue yang nyakitin perasaan lo, gue minta maaf, beneran, gue minta maaf." Gue minta maaf dengan sagat tulus, gue mengakui kesalahan dan gue harap, walaupun gue yakin sulit untuk Dewi bisa memaafkan tapi seenggaknya, Dewi tahu kalau gue beneran merasa bersalah.

"Oke, kalau tahu salah, cerai sama Juna secepatnya." Kalimat Dewi yang dia keluarkan segampang itu.

Gue berusaha sabar, gue mencoba mengerti, gue tahu kesalahan gue dan mencoba memaklumi sikap Dewi tapi kenapa makin kesini, jawaban Dewi malah makin sesuka hati? Sekalipun gue salah, bukan berarti Dewi bisa bersikap semuanya.

"Kalau soal itu harusnya lo ngomong langsung sama Juna, bukan sama gue." Harusnya begini, Juna yang lebih punya kuasa, kalau Dewi berhasil ngomong sama Juna, semuanya mungkin akan lebih mudah, Juna mungkin menolak permintaan gue tapi Juna nggak mungkin nolak permintaan Dewi, pacarnya sendiri.

"Kalau lo nggak minta dipertahankan, Juna nggak mungkin terus menghindar, Juna pasti kasihan sama lo makanya dia nggak tega, makanya itu harus lo yang ninggalin dia, kalau udah, gue yakin Juna juga akan lupa sendiri." Jelas Dewi yang membuat gue tersenyum sinis.

"Kapan gue minta dipertahankan? Lo denger dari siapa? Kalau lo nggak percaya, lo tanya sama Juna sendiri, dia atau gue yang nolak pisah? Tanya sana." Jangan nuduh gue sembarangan, gue udah bersalah jadi nggak harus nerima tuduhan tambahan.

"Gue nggak mau tahu, pokoknya gue mau lo ninggalin Juna." Dewi berisi keras, kalau udah begini, gimana cara gue jelasin lagi? Semuanya jadi muter-muter, udah gue jelasin tapi semuanya kaya angin, lewat gitu aja di telinga Dewi, nggak masuk ke otaknya lagi.

"Wi, gue udah jawabkan? Bukan gue yang minta dipertahankan dan bukan gue juga yang minta Juna untuk bertahan, gue salah karena setuju menikah sama Juna walaupun tahu hubungan kalian berdua tapi gue nggak terima disalahkan untuk semua tuduhan lo barusan." Ini yang harus Dewi paham, jangan cuma menganggap ini kesalahan gue seakan Juna nggak melakukan apapun.

"Satu lagi, gue nggak akan kemanapun karena gue nggak harus pergi karena siapapun, kalau memang lo sangat yakin dengan perasaan Juna, silahkan bujuk sendiri, kalau Juna setuju pisah, gue nggak akan menolak, gampangkan." Sambung gue memberikan penjelasan, nggak ada yang harus gue bahas lagi kayanya.

"Lo pikir gue bakalan percaya?" Dewi bahkan hampir mendeprak meja tempatnya duduk sekarang.

"Oh mau lo percaya atau enggak, gue nggak peduli." Kepercayaan Dewi bukan tanggung jawab gue, gue nggak harus ngelakuin apapun, percaya ya syukur, enggak yaudah.

"Jadi lo ngajak gue ketemu cuma untuk ngomong ini? Udahkan? Kalau memang udah, gue pamit sekarang." Ngerasa bersalah sama orang modelan Dewi beneran urusan yang sia-sia, niat hati mau meluruskan keadaan tapi malah ditaburin paku sama ni orang, jalannya makin sakit, bikin pusing.

"Kalian berdua ngapain disini?" Dan kepala gue makin pusing begitu mendapati Juna yang udah ada dihadapan kita berdua sekarang, jangan sampai ada ribut-ribut disini.

"Dia ngajak aku ketemu duluan, katanya mau minta maaf tapi dia nggak mau ninggalin kamu." Jawab Dewi cepat, gue udah mentap Dewi nggak percaya sambilan geleng-geleng kepala, kapan gue ngajak dia ketemu? Kapan gue nolak pisah sama Juna? Dibalik semua sama ni orang.

"Rana!" Juna natap gue.

"Kamu kenal aku? Dan aku yakin kamu kenal Dewi, mau percaya sama siapa terserah." Gue nggak punya pembelaan apapun, malas menjelaskan lebih tepatnya, buang-buang tenaga.

"Kebetulan kamu dateng, tolong urus pacar kamu, aku mau pulang soalnya, capek." Biar Juna yang ngadepin Dewi, gue udah nggak punya tenaga banyak, udah masuk ke mode hemat daya soalnya.

"Kamu juga istri aku sekarang." Juna nahan lengan gue.

Tersenyum miris, gue menurunkan lengan Juna perlahan dan menatap Dewi sama Juna bergantian, gue memang istrinya Juna tapi mungkin Dewi yang lebih penting, gue nggak mau memperumit keadaan dan banyak drama, gue nggak mau bereaksi apapun.

"Aku pulang." Pamit gue sekali lagi, nggak perdulikan panggilan Juna, gue berjalan lurus keluar dari tempat janjian, belum terlalu lama, gue malas menghela nafas semakin dalam begitu Juna berhasil nahan lengan gue lagi.

"Juna, kamu nggak liat dimana kita sekarang? Nggak perlu ada ribut-ribut bisakan." Gue membujuk sekarang jadi harusnya Juna paham.

"Jadi kamu lebih mentingin dia dari pada aku." Susul Dewi, melihat Juna yang belum juga melepaskan genggamannya di lengan gue, Dewi hampir aja nampar gue di depan umum kalau nggak ada tangan laki-laki lain yang menghalangi Dewi.

"Dewi!" Bentak Juna melepaskan lengan gue dan beralih memeluk Dewi yang dipenuhi amarah, pilihannya Juna pada akhirnya tetap Dewi.

"Kamu nggak papa, Ran?" Tanya Abang Jaz mengusap pipi gue panik.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang