"Cinta datang karna terbiasa..." kata kata itu lagi lagi Dhena ulangi entah untuk keberapa kalinya.
Kepalanya benar benar pening, apalagi saat surel dari Bargan yang menginformasikan bahwa jadwal siaran kampusnya dirubah 180 drajat masuk keberanda e-mail nya. Yang lebih parah, tak ada satupun dari jadwal siarannya yang sama dengan Arka. Apa bisa Dhena sangka bahwa hal itu unsur kesengajaan? Karena mungkin saja Arka benar benar ingin menghindar dan menjauhi Dhena seperti perkataan pria itu.
Gadis mungil itu melongos malas, sambil menggoyang goyangkan kakinya mengikuti irama musik bergenre mellow yang mengalun merdu dari earphone yang melekat ditelinganya.
Dia menatap sekeliling taman kampusnya. Tak ada tanda tanda orang yang dia cari akan memunculkan batang hidungnya entah dari sudut mana.
"Kak Bargan!!" tiba tiba Dhena berseru histeris saat Bargan, teman dari orang yang dia pikirkan muncul dari arah koridor kampusnya. Dengan cepat, Dhena melepas earphone yang dipakainya, kemudian tersenyum kearah kakak tingkatnya itu.
Bargan menoleh, lalu berjalan mendekati orang yang memanggilnya. Senyum kecil terpancar pada cetakkan wajah pria itu sebagai bentuk balasan akan apa yang terlukis diwajah gadis itu.
"Kenapa Den?" tanya Bargan to the point, setelah berada dihadapan Dhena yang spontan berdiri berhadapan dengan silawan bicara.
"Kak Bargan liat kak Arka?" bukannya menjawab, Dhena malah melontarkan pertanyaan lain yang membuat alis alis mata Bargan berjinjit.
"Lo ngapain nanya ke gue?gue bukan babby sitternya." sungut Bargan yang merasa kesal bahwa Dhena memanggilnya bukan karena sesuatu yang dia anggap penting.
"Kakak kan temannya kak Arka."
"Gue dengar dia minta sama dosen supaya ngubah jadwal kuliahnya jadi sore." mau tidak mau Bargan akhirnya menjawab.
Bargan tahu betul masalah Arka dan Dhena. Tentu saja karena Arka langsung memberitahunya perihal tersebut.
Muka Dhena berubah sendu. Beberapa pertanyaan mengambang diotaknya yang pasti tahu mengapa kakak tingkatnya itu mengubah seluruh jadwalnya.
"Yaudah, deh kak. Makasih banyak yah udah mau ngasih info." ujar Dhena tulus.
Bargan jadi merasa kasihan melihat cewek mungil itu. Tapi, apa gunanya rasa iba, jika Dhena saja dengan gampang menolak sahabatnya yang jelas jelas sangat sayang padanya.
"Gue saranin, lebih baik lo gak usah capek capek nungguin dia. Soalnya gak ada guna, dia gak bakal muncul depan lo." tanpa mendengarkan Dhena yang ingin kembali angkat bicara, Bargan langsung saja melenggang pergi dari hadapan gadis berkacamata itu.
"Kenapa gue jadi gundah gulana, galau ginisih?! Jelas jelas gue sendiri yang nolak kak Arka!" Dhena memberengut pada dirinya sendiri.
Dia kembali menatap sepenjuru taman, berharap sedikit keajaiban datang padanya untuk menghadirkan sosok manusia yang selalu menghantui pikirannya. Namun, untuk kesekian kali hal yang dia inginkan nihil.
"Gue pengen liat kak Arka," lirihnya.
Dia menatap sebuah gelang yang menghias dipergelangan tangannya lamat lamat. Gelang yang melambangkan sebuah perjanjian besar dirinya dengan sang mantan.
"Apa rasa itu--"
"Masih ada buat Johan?"
Dhena menyentuh arah jantungnya berdetak, menikmati setiap alunan degupan yang seakan akan menandakkan dirinya bahwa seorang Dhena masih bernafas lemah diatas pijakkan bumi perkasa.
"Maaf Jo-"
Dhena melepas kasar gelang tsb, lalu melemparnya kesembarang arah. Membiarkan udara udara disekelilingnya menerbangkan seluruh janji dalam sebuah ikatan gelang itu untuk segera berkesudahan.
"Masa aktif itu udah buat gue buta. Jelas jelas hati gue dan jantung gue berkompromi untuk selalu berada dan ada buat kak Arka. Terus, kenapa gue ragu hanya karna gelang sialan itu?!"
Air mata gadis itu, lagi lagi menetes membasahi pipinya. Meninggalkan jejak jejak kesakitan ditiap tetesannya. Sungguh, dia sakit.
.
.
.
Dhena menatap lamat lamat bangunan megah yang berdiri kokoh tepat didepan rumahnya. Sorot yang terpancar dari manik mata gadis itu terlalu samar menutupi kegugupan dan pacuan menggebu jantungnya.Untuk yang kedua kali, Dhena kembali menekan bel rumah itu. Namun, hasilnya masih sama. Rumah tersebut layaknya tak berpenghuni.
Dia menyerah, berbalik hendak meninggalkan mension tetangganya, sebelum wanita paruh baya yang Dhena kenali sebagai asisten rumah tangga, membuka pintu utama rumah tersebut.
"Eh, ada neng Dhena, mau ngapain atuh?" tanya wanita paruh baya yang kerap dipanggil bi Ratna itu dengan logat ramahnya.
"Kak Arka ada bi?" Dhena balik bertanya dengan nada antusias yang terdengar menggebu, hingga membuat bi Ratna sedikit terkekeh. Tapi, seperkian detik rautnya berubah muram.
"Den Arka udah pindah ke rumah barunya Neng." jawab bi Ratna.
Tentu saja penuturan bi Ratna membuat Dhena tiba tiba melemah. Harapannya buyar akan Arka, lalu meninggalkan beberapa pertanyaan yang menggantung dipikirannya.
"Sejak kapan bi?" lanjut Dhena dengan nada sendunya.
"Den Arka, nyonya, dan tuan beberapa tahun lalu memutuskan untuk pindah dari sini. Dan saya hanya menerima perintah untuk selalu menjaga rumah ini, tapi entah kenapa tepat saat neng Dhena dan keluarga neng pindah kekomplek ini, den Arka kembali memutuskan untuk tinggal lagi dirumah ini. Saya sering menanyakan perihal keputusan den Arka, tapi den Arka gak pernah jawab." terang bi Ratna yang baru saja Dhena ketahui.
"Dua hari yang lalu, den Arka lagi lagi membuat keputusan sepihak mengajak nyonya dan tuan kembali meninggalkan rumah ini." bi Ratna melanjutkan.
Dhena hanya dapat mendengar dengan seksama setiap kalimat yang terlontar dari bibir wanita paruh baya itu. Hingga menampar telak ulu ulu hati Dhena saat kenayataan yang dia hadapi, mengharuskan dia mengubur jauh jauh niatnya meluruskan persoalannya dengan Arka.
Cowok itu secara gamblang menjauh dan menghindar darinya, memberikan hukuman pada Dhena yang sungguh teramat menyiksa gadis itu.
"Gak ada lagi yang terjadi setelah kak Arka pindah bi?" tanya Dhena penuh harap. Setidaknya dia masih menginginkan titik cerah baginya dan juga Arka?
"Oh, setelah itu tuan dan nyonya bertengkar, membuat persepsi masing masing atas kehendak putra mereka. Mungkin, neng belum tahu kalau den Arka itu sedikit tertekan karna tuan dan nyonya yang selalu berantam, belum lagi tuan dan nyonya selalu mengabaikan den Arka, dan lebih mengutamakan sibuk dengan pekerjaan mereka." lagi lagi penjelasan bi Ratna membuat Dhena terkejut.
Arka yang selama ini dia kenal adalah sosok tangguh yang selalu tampak datar dimanapun dia berada. Dhena malah selalu berfikir bahwa Arka begitu sempurna tanpa celah, namun sampul bukan menjamin penilaian kehidupan seseorang bukan?
Dhena tertunduk lesu, sambil memilin milin jaket kulit milik Arka yang sengaja dia bawa, agar menjadi alasan kedatangannya.
"Kalau gitu, makasih bi, aku pergi dulu." pamit Dhena sesopan mungkin.
Setelah sampai didepan pagar rumah Arka, seorang anak kecil menghalangi langkah Dhena karna terlalu fokus dengan sebuah rubik yang dia mainkan.
Gadis berkacamata itu tersenyum lembut. Kehadiran anak itu lagi lagi mengingatkan Dhena dengan Arka."Kak Arka, maafin gue."
.
.
.
.Aku bakal buat cerita baru judulnya Matahari Arjuna...
Jadi plisss buat setor kehadirannya ngebaca cerita ku yang satu inii
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Adhena (Complete√)
Teen Fiction"Seharusnya gue tau Na, kalau lo itu hanya sebatas rubik, sulit buat ditebak. Kadang, semampu apapun kita buat susunan rubik itu jadi, tak berarti apapun. Malah rubik itu bisa makin berantakan." ucap pria itu dengan nada yang terdengar sedikit lirih...