14 - Alas Poor Audrina

162 49 6
                                    

suicide attempt
trigger warning !



⋇⋆✦⋆⋇ ⍟ ⋇⋆✦⋆⋇



Satu purnama terlewati, ya, sudah selama itu. Waktu mengalir tanpa menunggu siapapun untuk menyusul, dan kehadiran Audrina sesungguhnya membuat Seokjin melupakan kehidupan lampau. Tidak semua, namun wanita di hadapannya menjadi salah satu memoar yang ia sisihkan demi menjaga integritas kewarasan kala atmosfir penuh dengan ensiklopedia pelik.

"Luisa?"

Merasa asing dengan nama itu? Sudah pasti, memang ini pertama kali ia disebutkan. Luisa Fareri menghilang dari New York sejak kurang lebih satu bulan lalu, dan dalam konteks ini, menghilang versinya bukan seperti beberapa kasus penculikan yang santer diperbincangkan. Seokjin menerawang jauh ke akhir bulan September lalu, mengenang lima ketukan dan senyum merekah ketika pintu terbuka lebar. Pekerjaan menuntutku untuk pergi, tidak selamanya, kok. Hanya sebulan, bisa lebih—tapi, yang terpenting, tunggu aku, ya. Seokjin sudah tertimpa beban terlalu banyak untuk mengingat jawaban apa yang ia ucapkan, namun yang pasti, si Kim tidak sedang menunggunya selama ini.

"Ah, Jin! Aku sangat merindukanmu," pekik Luisa, surai eboni menjuntai lemas di belakang punggung. "Constanța jadi tidak semenarik Queens, terima kasih padamu."

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Alih-alih menandingi perasaan sukacita Luisa, Seokjin justru mematung kaku saat si wanita merengkuh dirinya erat. Dan waktu terburuk yang pernah ada, ia mengunci tatapan dengan Audrina saat Luisa mengikis celah antara satu sama lain, merampas sebuah kecupan singkat yang seharusnya menjadi milik Audrina malam itu. Ekspresi tak terbaca membilas air muka si wanita, dan sungguh, Seokjin mendapati candu untuk merutuki diri sendiri kendati ia secara instan melepaskan dekapan Luisa.

Seokjin mengepalkan tangan, memiliki niatan untuk meletup marah, tetapi ia bukan tipikal pria yang seperti itu kepada seorang wanita. "Aku bertanya, Luisa. Bukan menyuruhmu untuk melakukan hal yang tidak sopan."

"Tentu saja menemui penghuni apartemen favoritku!" Luisa mencebik, menyilangkan kedua tangan di depan dada saat melanjutkan, "Dan tidak sopan katamu? Ayolah, kau tidak keberatan. Ini baru satu bulan lewat dua hari, dan kau sudah melupakan bagaimana aku bertingkah?"

"Banyak yang terjadi ketika kau pergi," sahut Seokjin sedikit ragu dan hati-hati. "Termasuk aku yang memintamu untuk keluar dari apartemenku. Sekarang."

"Kenapa?" Luisa memicingkan mata sebelum ia terkesiap dan menempatkan satu tangan di dada secara dramatis. "Oh! Apa kau sedang menyiapkan makan malam untuk menyambut kedatanganku? Wah, baiklah. Aku akan ulang dari awal, berpura-pura belum mengetahui apapun. Terdengar bagus? Tentu saja."

Seokjin mengerang gusar, mencoba untuk mendorong si lawan bicara ke arah pintu keluar. "Luisa—"

"Tidak perlu malu," celetuk Luisa dan dengan cekatan, menggeliat pergi dari cengkeraman pria tersebut. "Bagaimanapun juga kau adalah calon menantu idaman Ayah dan Ibu."

Ah, omong kosong ini lagi.

Dari beragam alasan mengapa Seokjin selalu memilih untuk menghindari Luisa adalah karena dia bertingkah layaknya seorang penggemar dengan dosis obsesi berlebihan. Luisa ada di mana-mana, kapan saja, dan kemudian, bertindak seolah itu adalah hal paling normal di dunia. Jika bukan karena tempat tinggal dengan biaya sewa termurah, Seokjin mungkin sudah angkat kaki sejak awal konfrontasi mereka.

Dan sekarang, satu bulan tidak akan pernah cukup untuk menyembunyikan fakta bahwa semesta menjadi lebih baik tanpanya.

Mengacak frustrasi surai hitam yang setengah kering, Seokjin menghela napas, memalingkan tatapan ke arah lain (lebih tepatnya, ke lantai atas untuk memastikan apakah Audrina masih mendengarkan pembicaraan mereka atau tidak, dan sayang sekali, kedua bola mata hanya mendapati spasi hampa). "Jangan bicara yang tidak-tidak, Lui."

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang