Audrina mengingat bagaimana dunia berputar intens di hadapannya, cepat, menyesuaikan sirkulasi piroutte tak berkesudahan. Alunan musik dari Pyotr Tchaikovsky menatar untuk tidak menyerah pada rasa sakit, meski ia bisa merasakan perih sempurna dari luka dipunggung yang Mother berikan, mengeluh, terlebih berhenti bukanlah opsi yang tepat.
Tetesan likuid dari sayatan nyata segera berubah menjadi rasa nyeri yang membakar, mencakar daging dan tulang-belulang. Riak keretakan jemari kaki bergaung pilu dalam keheningan, mendesak untuk berhenti. Namun, sepasang netra brutal Mother selalu tertuju padanya, tidak ada kemungkinan dia sanggup mengacau tanpa notifikasi. Pergerakan iris sedikit dari satu inci jauhnya pun tidak diperbolehkan jika tidak ingin menghadapi kemurkaan Mother.
Selama itu, Audrina dipaksa untuk membantai sisi lemahnya, mengikis celah yang dapat menimbulkan kegagalan. Reaksi, Mother sangat membenci reaksi. Ketika ada rintihan teredam di belakang ruangan dan satu balerina tumbang, tidak ada yang diizinkan untuk melirik meski hati berdenyar simpati. Begitulah cara kerja Sanctum. Satu jatuh, satu lainnya harus berdiri. Bagaimanapun caranya, jangan memperlihatkan kelemahan, bahkan berkedip kala mengobservasi darah diri sendiri melingkupi tongkat penyiksaan Mother.
"Ketika kau menjadi bagian dari anak-anakku," Mother berjalan membentuk lingkaran, mengitari para balerina dengan hentakan heels berdecit melawan lantai kayu aula secara tegas semerta-merta melanjutkan, "Kau akan belajar bahwa tidak ada tempat untuk sentimen."
Audrina mengingat bahwa segala bentuk gerakan merupakan sebuah tes, sebuah eksamen untuk menguji seberapa pantas dirinya bertahan dan menjadi fraksi permanen di Sanctum. Ada pertunjukan mingguan, dimana seluruh balerina akan menari di depan sekelompok orang asing, tetapi yang Audrina dapatkan setelah Opus 40 nomor 6 milik Tchaikovsky berakhir, semua hanyalah makhluk yang lapar akan kekuasaan.
Dan malam itu, Audrina menjadi satu-satunya yang bertahan sementara yang lain dieksekusi karena memberikan jawaban yang salah kepada Mother.
Hawa dingin merambat tulang punggungnya, namun sekali lagi, Audrina dipaksa untuk menekan itu pergi. Jangan berkedip. Jangan tersentak, bahkan tidak menunjukkan kedutan pada labium ketika darah gadis-gadis yang biasa ia temui setiap pagi, setiap hari ia bangun, hampir menenggelamkan tapak sepatu balet miliknya.
"Pelajari ini," tegas Mother, memandang lurus pada Audrina seraya menempatkan tungkai di atas seonggok kadaver tanpa rasa bersalah menyapu raut wajah. "Keseluruhan dirimu adalah milik Sanctum, sekali kau melangkah masuk ke dalam akademi, tempat ini menjadi tempat kelahiranmu yang baru. Jadi, ketika aku meminta sesuatu sebagai gantinya, lakukan. Lawan kelemahan dan sentimental, lihatlah sekeliling secara apa adanya, tumbuhkan egoisme dalam dirimu."
Audrina mengangguk patuh, kemudian melodi lainnya, Opus 20 nomor 10, meriuhkan ruangan, mendorongnya untuk melanjutkan tarian di atas panggung yang berdarah. Meskipun Audrina ingin menjatuhkan diri karena lelah membanjiri sistem tubuh, jantung berdegup menyakitkan, kelopak mata bergetar siap untuk menangis, dia tidak bisa—tidak boleh berhenti.
"Lakukan apa yang aku perintahkan, kau akan hidup satu hari lagi."
Satu hari lagi, itu sangat cukup.
Dengan begitu, Audrina mengurung seluruh rasa sakit itu di dalam jiwa hingga setidaknya cakrawala gelap menyambut kedatangannya. Ada perasaan tidak jelas mencabik seluruh organ tubuh ketika dia mendorong pintu asrama, seakan beban yang ditinggalkan para gadis itu menumpuk di waktu yang bersamaan dibahunya, dia berhenti sejenak tatkala memandang sekumpulan ranjang kosong.
Tidak apa-apa, batinnya lirih. Besok pasti ranjang ini akan terisi lagi.
Sudah menjadi ciri khas Sanctum kedatangan gadis-gadis baru setelah beberapa tumbang, itulah cara kerja tempat keji ini guna mempertahankan tujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aegis
Fanfiction❝She's contagious, a sickness I'm dying to catch.❞ ──────────── Kim Seokjin • Female OC © yourdraga 2019