Hal pertama yang dilakukan Audrina kala terlepas dari belenggu mimpi inferior itu adalah menelusuri seluruh ruangan guna mencari satu presensi yang menyebabkan jantung berpacu liar untuk kesekian kalinya, bersamaan dengan napas kasar mengiringi setiap hentakan urgensi. Audrina hanya perlu menemukan Seokjin, menenggelamkan diri ke dalam sepasang netra teduh miliknya, memastikan percikan kehidupan masih menyala dan tidak memperlihatkan tengara akan meredup dalam waktu dekat.
Mendramatisir keadaan? Tidak, tidak juga. Hanya saja, setelah apa yang terjadi pada Audrina selama ini, ia telah mengonsepkan kesulitan membedakan mana yang nyata dan tidak di dalam benak. Audrina menyadari bahwa itu semua merupakan bunga tidur, tetapi ia hanya tidak bisa untuk tidak mempertanyakan dan khawatir terhadap adegan-adegan yang berlangsung di mimpi itu. Dan semenjak siklus kehidupan masa lalunya selalu berpusat pada mortalitas, segalanya tampak mungkin terjadi.
Ada perasaan takut menggeluti saraf, berbeda dari yang lain—berbeda dari ketika mengetahui dia sudah menyebabkan agitasi di Sanctum. Yang satu ini, sensasi yang nyaris membuatnya hilang akal semerta-merta mengimplisitkan intensi bertahan hidup, Audrina ingin sekali sentimen tersebut bersauh ke orang lain, lenyap darinya bak ditelan Bumi.
Karena itu sangat menyakitkan, seperti kejutan tak diundang pada sistem tubuhnya. Tidak lebih menyakitkan dari semua yang sudah ia alami, tetapi itu sama kala memandangi Camaro SS milik Althea meledak dan terbakar tepat di hadapannya.
Jadi, kendati Audrina menemukan Seokjin sedang terfokus dalam mengerjakan sesuatu di ruang tamu dengan kacamata bertengger di mata dan pencahayaan temaram dari lampu nakas—hidup dan bernyawa—itu masih membutuhkan segala yang ada di dalam diri Audrina untuk bernapas lega, mengatur ritme respirasi agar lebih teratur. Dia tidak langsung menghampiri Seokjin, bahkan tidak menyeka likuid proses lakrimasi yang membasahi mata dan pipi, hingga pada akhirnya, iris mereka terdorong untuk bertemu satu sama lain.
Jika bukan karena sosok yang sudah terpatri dalam otak dan air mata merabas ekspresi lelahnya, Seokjin mungkin akan memekik histeris sebelum melarikan diri, meninggalkan dokumen-dokumen setinggi gunung itu, lalu kembali ke Korea. Serius, jantungnya sempat terhenti untuk sepersekian sekon, mengira bahwa unit apartemennya disinggahi oleh arwah bekas Halloween yang masih tersesat. Beruntungnya, ia pandai berakting, menyamarkan kondisi stagnan dengan cara yang impresif secepat kilat.
Lagipula, Seokjin juga piawai dalam membaca seseorang, jadi tatkala saling bertatapan, ia menangkap poin dari mengapa Audrina berdiri di sana dengan horor bergelimang pada ekspresinya.
"Kemarilah," panggil Seokjin lembut. Tanpa ragu, si wanita berjalan ke arahnya dan mendudukkan diri di sampingnya. "Ada pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Apa aku mengganggu tidurmu?"
Audrina menggeleng bisu dan hanya menatap kosong berkas-berkas yang berserakan di meja, sesekali menghela napas kasar. Melihat betapa gelisah dirinya, Seokjin segera menempatkan sebuah bantal sofa di atas paha.
"Berbaringlah," katanya sambil menepuk permukaan bantal. "Jika mengalami mimpi buruk lagi, aku di sini."
"Itu bukan mimpi buruk," Audrina mengelak, namun meskipun begitu, dia mengejutkan Seokjin dengan tetap membaringkan diri tanpa berpikir dua kali seperti biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aegis
Fanfiction❝She's contagious, a sickness I'm dying to catch.❞ ──────────── Kim Seokjin • Female OC © yourdraga 2019