20 - Rain Must Fall

207 41 9
                                    

Upaya berlakon tenang memang sederhana, namun Audrina tidak akan berbohong ketika mengatakan bahwa organ-organ tubuhnya saat ini sedang bersitegang—kekhawatiran dan skeptisisme membuncah, hampir memporak-porandakan dinding defensif yang dibangunnya di dalam diri. Tidak seinci pun Audrina besar nyali untuk memalingkan pandangan karena takut kehilangan pola tak kasat mata.

Sepuluh menit. Sepuluh menit berlalu dengan situasi canggung, baru dan tidak dikenal, berdiri mematung di sana sambil mengobservasi si pria yang tengah menyesap secangkir teh, mungkin juga sedang menerka-nerka apa yang telah Audrina larutkan ke dalam likuid hangat tersebut.

Tidak ada. Audrina tidak menuangkan apapun, bahkan tidak keliru membedakan mana garam dan mana gula. Meskipun sempat terpikir melakukan sesuatu berisiko, tetapi menyadari bahwa dia sudah mengasingkan gaya hidup semacam itu, niatan tersebut seketika surut. Hanya satu hal yang perlu selalu diingat; jangan pernah lengah.

Beruntung Audrina adalah pembelajar yang cepat, handal dalam menanggapi segala sesuatu dengan cara paling normal, melakukan yang terbaik untuk membentengi kecurigaan yang meningkat, bahkan ketika jemarinya sudah bersentuhan dengan sebuah pisau di laci konter yang sengaja dibuka.

Sebagian dari dirinya ingin percaya bahwa Seokjin benar-benar mengkhianatinya, setelah semua, membeberkan eksistensinya kepada pria yang bertanggung jawab menghamburkan informasi tentang kehadiran master assassin di Queens adalah satu-satunya hal yang paling masuk akal untuk dilakukan.

Tetapi, persetan, perasaan berapi-api yang meyakinkannya bahwa Seokjin tidak akan pernah melakukan itu padanya, jauh lebih mendominasi.

Audrina tetap bersikap setenang dan sesopan mungkin kendati dibuyarkan oleh pertanyaan pembuka dari Jihoon, "Sejak kapan kalian tinggal bersama?"

"Belum lama."

Ketegangan di udara sangat tebal, kelewat padat hingga siapapun bisa memotongnya dengan belati. Secara harfiah. Mungkin Jihoon juga merasakannya, karena hal berikut yang dia lakukan hanyalah tersenyum simpul, jemarinya diseret mengitari permukaan lingkaran cangkir.

"Tidak ingat, ya?" Begitu terucap keluar dari bibir Jihoon, Audrina menaikkan satu alis, memberi isyarat bahwa dia sama sekali tidak memahami arti dibalik eufemisme tersebut. "Sebulan lalu, aku dan tunanganku melihat kalian di Fifth Avenue."

Oh.

Jika saja rencana waktu itu berjalan lancar, mungkin Fifth Avenue akan menjadi prolog dari kisahnya. Seorang wanita yang akhirnya terlepas dari belenggu iblis, memperoleh iluminasi kontemporer serta panduan untuk bahagia. Lagi, dan dimulai bersama seseorang.

Sungguh intermeso yang berharga, tapi itu sudah lama berlalu, 'kan? Satu bulan, sesuai perkataan Jihoon.

Untuk Audrina, waktu sangatlah berharga. Setiap detik, menit, jam. Hidup terlalu singkat, entah sudah berapa kali dia dihadapkan oleh situasi yang mengancam nyawa sehingga bernapas, baginya, merupakan sebuah keuntungan.

Ada penyesalan bercokol dihatinya, mengeruk, mengikis, menggetirkan relung. Kemudian, ada 'bagaimana jika' meraung di setiap sudut otak. Terlalu keras seolah-olah mengadili sekaligus menegaskan jikalau dia berbicara jujur sedari awal, keadaan pasti akan terdistorsi berbeda.

Namun, di sini, bukan itu lagi permasalahannya, 'kan?

Sudah berbeda. Berlainan. Berlawanan. Karena setelah ini, semuanya tidak akan pernah sama lagi. Termasuk Audrina dan Seokjin. Well, setidaknya, dia pernah mendapat kesempatan untuk menikmati secuil waktu bahagia itu.

"Kebetulan yang pas sekali," ujar Audrina dengan tatapan dan nada datar, diam-diam melewatkan skenario berdarah yang kerap mengganggu benak, merapat untuk dibocorkan juga. Tetapi, dia memilih bungkam. Sangat riskan untuk membagi insiden malam itu kepada orang asing. Lagipula, dia sudah mengetahui sesuatu tentang Jihoon. "Kenapa tidak mengajak istri—ah, maaf, tunanganmu ke sini?"

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang