Pagi ini hujan turun lagi, tetesan bening itu mengalir terus menerus dari atas langit, seolah berusaha keras untuk membasahi bumi, yang semakin lama terlihat semakin gersang, semakin pucat. Jika saja bumi memiliki jiwa, maka di zaman ini, jiwa itu pastilah sudah sangat lelah karena menghadapi tingkah dan pola hidup manusia, yang dengan sadar selalu membuat sang bumi menjadi pesakitan.
Untuk kesekian kalinya aku menghela napas panjang, berat rasanya meninggalkan peraduan, disaat udara sedang gencar menghembuskan rayuan manisnya. Kembali, helaan napasku meluncur, rasanya baru saja aku memejamkan mata, rasa lelah saja belum terkikis, tapi sang surya sudah mulai merangsek naik, dengan keji memotong mimpi-mimpi yang sedang kuukir.
Pagi lagi.
Kerja lagi.
Monoton seperti biasa.
Setelah mengarahkan wajah ke hadapan Rabbku, melalui dua raka'at shubuh, aku segera memulai aktivitas dengan hati sendu, karena rasa bosan dan penat sepertinya sedang menggerogotiku.
Tintin...
Suara klakson mobil sedikit membuatku terlonjak kaget, keningku berkerut bingung, memang ini jam berapa? Dan kenapa pagi sekali dia datang?
Sekilas kulirik jam dinding yang terpasang di ruang tamu. Ternyata bukan mobilnya yang datang terlalu cepat, tetapi aku yang terlalu lama berbenah diri.
Lagi, aku menggerutu.
Dengan gerakan super cepat, aku segera merapikan hijabku, lalu dengan setengah berlari kuhampiri mobil angkutan umum yang sudah menunggu di depan rumah. Karena sudah menjadi langganan setiap pagi, jadi mobil yang merupakan angkutan umum itu selalu berhenti tepat di depan rumahku, dan tak akan beranjak pergi sebelum aku keluar.
"Pagi, neng Resti," sapaan dari pak sopir, langsung menyambutku ketika aku memasuki mobil berwarna biru itu. Seperti biasa, aku akan memilih duduk di tempat yang paling pojok.
"Pagi Beh, tepat waktu seperti biasanya. Babeh selalu datang pas di jam yang sama setiap pagi, hebat ih," pujiku pada pria setengah baya yang selalu kupanggil dengan sebutan 'Babeh', sembari memberikan senyuman kecilku.
"Iya neng, takutnya macet nanti neng Resti telat lagi," jawab babeh, sambil menoleh ke arahku dengan memasang wajah hangatnya.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Babeh selalu terlihat bersemangat, kadangkala semangatnya yang besar itu mampu mempengaruhi dan melucuti rasa malasku. Namun pagi ini, entah kenapa aku tidak merasakan aura positif itu, jiwaku sedang bermanja-manja dengan kemalasan. Kusandarkan kepalaku pada kaca mobil, sembari memejamkan mata, tidak bisakah aku kembali pada ranjang kesayanganku? Dan tidur seharian penuh?
***
Aku semakin menekuk wajahku, ketika tiba di tempat kerja. Tugas sudah mengantri, dan seperti biasa, tanpa rasa kemanusiaan, atasanku yang cantik itu selalu saja melemparkan revisian padaku, selalu aku, padahal itu bukan bagianku."Bos cantik lagi pms kali ya, ngomel mulu dari tadi, pusing gue," gerutu Dewi, sambil mengerucutkan bibirnya. Dia merupakan salah satu teman kerjaku.
"Kamu mending ga dapet lemparan tambahan, lah aku ... Nasib anak tiri," ucapku sengit, yang hanya dibalas senyuman jail khas Dewi. Faktanya memang seperti itu, aku selalu saja mendapatkan tugas tambahan, sedangkan temanku yang lain tidak pernah mendapatkan jatah.
"Rezeki anak perawan," godanya, sembari mencolek daguku.
Aku berdecak sebal. Dengan wajah masam kukerjakan tugas tambahan itu, seharusnya bukan aku yang mengerjakannya, tetapi mandat bu bos, tidak bisa ditarik lagi.
Satu kata untuk hari ini.
Menyebalkan.
***
Sore itu, kutapaki jalan dengan perlahan untuk menghampiri kakakku yang katanya sudah menunggu. Wajah kusut, lesu, dan hati suram. Komplit sudah.