Kim Seokjin memang merindukan sederhana dan normal, dimana kekhawatiran terbesarnya hanya sebatas kuantitas pengunjung yang kurang membludak selayaknya musim liburan, mengingat itu akan berimbas pada kuorum tip yang dia butuhkan untuk menopang kehidupan di kota besar seperti New York.
Namun, sekarang, si pria itu pun terjebak dalam dilema.
Karena kini, hari-hari sederhana dan normal itu sungguh terasa hampa setelah kedatangan Audrina dalam kehidupannya. Dia enggan kembali ke situasi itu, tidak berniat juga. Seperti yang dia sempat sampaikan, seorang Kim Seokjin sangat kapabel melanjutkan hidup tanpa wanitanya, tetapi dia hanya tidak ingin.
Ah, sial.
Di sana, punggung tersandar melawan dinding oker di bawah iluminasi samar dari deretan lampu-lampu bergaya vintage, menumpu kening di telapak tangan, gelisah merengkuh relung, Seokjin tidak henti-hentinya merutuki diri dengan jemari membayangi layar ponsel yang sedang memperlihatkan satu kontak; 4012, nomor apartemennya.
Para staf yang lain hanya membiarkan Seokjin sendirian, tidak ingin terlibat, toh mereka juga tidak ingin terkena damprat dari pria yang sedang mengalami fluktuasi sentimen.
Sedangkan Jihoon menghilang dari peredaran, hotel tampak lengang tanpa presensi yang cukup mentransmisikan aura positif, pun mengintimidasi di waktu bersamaan.
Baru kali ini, Seokjin menyayangkan ketidakhadiran pria itu karena saat ini, dia sangat membutuhkan advis darinya.
Terdiam sejenak, berupaya merombak kekusutan di kepala, si Kim akhirnya menekan nomor lain sembari mengingatkan dirinya untuk menyisihkan uang demi membelikan Audrina ponsel. Dering keempat dan mendengar suara berat dari seberang, Seokjin sontak melebarkan mata, terkesiap pelan tatkala mengingat perbedaan waktu yang brutal.
"Aduh, maaf! Aku lupa melihat jam, tidurlah lagi, Bu." Berkali-kali mengutarakan klausa apologetik, tetapi Nyonya Kim tidak menggubris, alih-alih memutus sambungan dia justru menyuruh Seokjin mengatakan apa yang membuatnya menghubungi orangtuanya di pagi buta kota Seoul. "Sebentar lagi Natal, aku hanya ingin memastikan apakah kalian masih menginginkan hadiah dariku atau tidak?"
"Kau gila? Kenapa harus bertanya?" kata Tuan Kim ambisius. Entah apakah beliau sadar atau hanya setengah sadar. "Tentu saja, Ayah dan Ibu paling menantikan hadiah darimu!"
"Apa yang kalian inginkan?"
"Seorang istri."
Hati Seokjin terpompa, berdegup tak karuan. "Ah, Ibu. Aku sedang... makan siang, jangan berkata yang tidak-tidak."
"Kau terlalu sibuk bekerja, Kim Seokjin. Aku tidak mengerti, apa lagi yang kurang dari New York?" gumam Nyonya Kim tak habis pikir. "Pasti ada 'kan wanita-wanita cantik dan luar biasa di sana?"
Cukup banyak wanita yang menggoda, memberikan sinyal bahwa mereka sedang melajang, bahkan menyelipkan kertas berisi nomor ponsel dalam lembaran uang tip, tetapi tidak ada satupun yang berhasil meraih atensi Seokjin. Hanya satu. Pertemuan ganjil di bawah legamnya cakrawala, lorong tak bertuan, dan baju bersimbah darah.
Seorang penyelamat tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi nama tengahnya, tetapi malam itu, ketika dia mendapati dirinya mencatat seberapa ekstensif obsidian klorofil, sesaat terhanyut dalam gulungan distres, Seokjin merasa seperti Malaikat. Tidak memenuhi syarat, memang, namun Audrina seolah meyakinkannya bahwa dia datang tepat waktu, dan sejak hari itu, ia merasa berguna lagi.
Seokjin nyaris tertawa miris, mengacak surainya frustrasi. Dia pernah mengagumi, namun tidak dengan mencintai. Perasaan ini asing, tetapi ia terlanjur mendambakan masa depan berdua. Apa kata yang tepat untuk itu? Apakah Seokjin jatuh cinta pada seorang wanita yang bahkan masih menyatu dengan enigma?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aegis
Fanfiction❝She's contagious, a sickness I'm dying to catch.❞ ──────────── Kim Seokjin • Female OC © yourdraga 2019