Pantai Seruni, Bantaeng

31 9 0
                                    

- Ayana -


(06.54 pm)

Satu kata untuk Yuta.

Aneh.

Mungkin keanehannya sudah mendarah daging.

"Buat apasih ke pantai malam-malam? Romantis enggak, masuk angin iya." Gerutuku saat kami melewati jajaran pohon cantik yang dihias dengan lampu warna-warni.

Pantai Seruni seakan baru aktif saat malam begini, apalagi ini malam Minggu. Banyak pedagang yang menjajakan dagangannya dengan gerobak, di stan khusus, bahkan mobil.

"Emang mau yang romantis? Oke, besok kita ke Bira kalo gitu."

Aku memilih tidak menjawab.

"Ayo, Ay."

Yuta mencolek lenganku saat akhirnya kami parkir di dekat pedagang gorengan.

"Mau apa sih, Yut?" Kataku sambil melepas seatbelt lalu mengikutinya turun.

"Ada hal yang harus kita perjelas, Ay."

Aku mengangguk seolah mengerti. Padahal tidak.

"Shit!" Aku menggigil. Kuusap lenganku yang diterpa angin pantai.

"Dingin yah? Kasian." Ejek Yuta.

"Halah, sialan."

"Ckckc, bad word."

"Shut up!"

"Shh, sini deh." Tiba-tiba Yuta meraih tanganku. Lembut dan hangat.

Kami berjalan beriringan. Sesekali aku masih merutuki angin malam yang kelewat dingin. Yuta di sampingku sepertinya nyaman-nyaman saja. Berjalan santai sambil menggandeng tanganku.

"Duduk disana." Yuta menunjuk sebuah gazebo di pinggir pantai.

Andai saja percakapan tadi tidak terjadi, maka malam ini pasti akan menjadi malam yang romantis.

Semilir angin pantai, pesisir yang terang dipenuhi lampu warna-warni. Suara orang-orang bercengkrama, para pedagang yang menawarkan jualannya. Dan ada Yuta di dekatku.

Semuanya nyaris sempurna.

"Kita harus ngomong."

"Itu kamu udah ngomong."

"Ck, dengerin dulu, Ayana."

Oke. Kalau Yuta sudah menyebutkan namaku secara lengkap, artinya dia dalam mode serius.

"Ayana, kita sahabatan dua puluh tahun lebih-lebih dikit. Aku tau bagus jeleknya kamu lebih baik daripada orang lain."

Aku menyimak. Menatap Yuta yang juga menatapku penuh atensi.

"Dan aku gak akan segoblok itu buat ngejahuin apalagi ninggalin kamu gara-gara kamu punya pacar."

"Yuta,"

"Ssh, dengerin dulu."

Lagi-lagi aku bungkam.

"Soal aku yang laporan ke kamu tiap kali deket sama cewek, itu salah satu bentuk perhatian aku sebagai sahabat. Yah, aneh sih, aku mau nunjukin perhatian dengan cara pamer cewek baru ke sahabat aku sendiri. Tapi aku gak tahan nyembunyiin sesuatu dari kamu, Ay. Bahkan hal-hal kecil yang mungkin kamu anggap gak penting."

Yuta benar. Sejak dulu dia selalu memberitahuku hal-hal yang dialaminya. Dari yang penting sampai yang tidak sama sekali.

Aku oke-oke saja. Tidak merasa terganggu sama sekali. Aku anak tunggal, tidak punya teman bicara selain tetangga samping rumah, yah si Yuta ini. Jadi aku selalu suka mendengar semua ceritanya. Apa pun itu.

Pulang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang