(36)

3.3K 362 62
                                    

"Kamu nggak bisa maksa aku kaya gini, kamu tahukan pilihannya nggak mudah." Juna menatap gue penuh harap tapi nyatanya gue yang lebih berharap sekarang, gue berharap kalau Juna akan lebih tegas dalam bersikap, mau sampai kapan gue hidup kaya gini?

"Semuanya akan mudah andai kamu bisa lebih tegas, aku atau Dewi?" Nggak ada yang perlu diperpanjang, Juna harus milih.

"Aku atau Dewi?" Desak gue menunggu jawaban, pembicaraan gue sama Juna nggak akan selesai sebelum Juna menentukan pilihan, gue bukan memaksa tapi gue nggak mau mengulur waktu lebih lama lagi.

"Aku mempertahnkan Dewi cukup sulit, kamu sendiri tahu." Gue anggap ini sebagai jawaban.

"Oke, jadi pilih Dewi." Ini kesimpulannya dan gue udah sangat paham.

Mendorong tubuh Juna untuk menjauh, gue keluar dari kamar dan beralih masuk ke kamar tamu, Juna pasti nggak akan berhenti ngomong kalau gue masih di tempat, solusi tercepat ya gue yang keluar, semuanya udah cukup jelas, Juna nggak akan pernah bisa ninggalin Dewi gitu aja dan gue udah nggak punya cukup tenaga untuk menunggu.

Bukannya gue nggak bisa bersabar tapi menunggu untuk hal yang nggak pasti juga untuk apa? Gue cuma akan nyiksa diri, gue nggak mau, kalau memang Juna masih sangta peduli sama Dewi, kalau Juna masih sangat mencintai Dewi, biar gue yang mundur.

.

"Kamu mau kemana?" Tanya Juna begitu melihat gue menuruni tangga dengan pakaian yang udah rapi.

"Kuliah." Memangnya gue bisa kemana lagi tanpa izin Juna? Cuma untuk kuliah gue nggak harus laporan dulu.

"Aku anter." Tawar Juna yang gue abaikan.

"Nggak perlu, sarapan kamu udah aku siapin, aku berangkat dulu." Keluar dari rumah, gue mulai kembali mengendarai mobil gue setelah gue tinggal cukup lama, belakangan ada Juna yang sering anter jemput, Fara juga sering jadi mobil seakan jadi penjaga garasi.

Cepat atau lambat, gue harus mulai membiasakan diri, gue nggak boleh bergantung dengan siapapun, gue harus mulai menatap hidup gue ulang, gue nggak mau merepotkan siapapun, pada akhirnya, sendiri memang lebih baik.

Mmemperhatikan jalan dengan baik, gue mulai mendengarkan beberapa musik kesukaan gue, untuk beberapa saat gue mulai merasa kembali ke masa bahagia gue, disaat gue nggak punya beban apapun, pekara pusing gue cuma tentang tugas kuliah yang kejar tayang aja.

"Lo bawa mobil? Juna nggak sempat nganterin ya?" Tanya Fara yang memang udah nungguin gue diparkiran, gue menggelng pelan dan tersenyum menatap Fara sekarang, mukanya kusut banget.

"Lah kan biasanya gue memang bawa mobil sendiri, ayo masuk." Ajak gue menggandeng lengan Fara lebih dulu.

"Bentar deh, lo kenapa aneh begini? Lo berantem sama Juna?" Fara narik lengan gue untuk memberhentikan langkah tapi gue narik lengannya lebih kuat untuk tetap jalan, nggak ada yang harus dibahas di tengah jalan kaya gini, kalaupun ada, nggak sekarang.

"Gue udah nggak punya waktu untuk berdebat sama Juna jadi lo yang tenang, santai." Jawab gue tersenyum kecil, gue mencoba kembali ke keseharian gue tanpa harus merepotkan siapapun.

Mendengarkan jawaban gue sebenernya tatapan menelisik Fara cukup menusuk tapi gue memilih untuk menatap ke arah lain, gue akan cerita tapi nggak sekarang, gue baik-baik aja jadi Fara jangan khawatir.

Kita berdua masuk ke kemas dan memulai perkuliahan dengan tenang, kalau biasanya Fara akan memaksa gue untuk cerita di sela pelajaran tapi kayanya sadar kalau gue sedang sangat serius jadi dia juga nggak akan berbuat banyak.

"Ran, lo udah nggak ada kelaskan? Temenin gue sebentar ke rumah sakit." Fara nepuk lengan gue sembari ngomong begitu, mendengar kata rumah sakit, gue langsung panik, ke rumah sakit? Ngapain?

"Lo sakit? Sakit apa? Kenapa baru bilang?" Kalau memang ssakit harusnya ngomong dari tadi bukannya nunggu kelasnya kelar dulu.

"Sayang juga lo sama guekan? Tapi tenang, gue bukan sakit tapi mau nganterin pakaiannya Abang, orangnya udah dua hari di rumah sakit." Jelas Fara yang membuat gue mulai bisa nafas kega tapi bentar deh, kemarin gue baru aja ketemu Abang Jaz.

"Gue ketemu Abang Jazlin lo Ra kemarin." Gue ngasih tahu santai tapi reaksi Fara yang rada nggak santai, Fara langsung nepuk ke dua bahu gue nunggu cerita lebih lanjut.

"Ya kemarinkan gue ngomong sama Dewi nah pas mau pulang ketemu sama Abang Jaz, terus gue dianter pulang, udah gitu aja, yang lo udah natap gue sampai kaya gitu kenapa?" Biasanya tatapan Fara penuh maksud jadi kalau sekarang dia natap gue nggak santai, pasti ada aja yang terlintas di otaknya.

"Lo nggak punya hubungan apa-apa sama Abang guekan Ran? Ngaku lo." Gue langsung batuk parah begitu mendapati pertanyaan modelan begini, waha Fara juga parah ternyata.

"Lo kalau nanya bisa pakai otak sedikit nggak? Mana mungkin gue punya hubungan sama Abang lo, memangnya lo mau punya Kakak Ipar kaya gue?" Pertanyaannya ada-ada aja, mikirnya kejauhan.

"Ya nggak masalah sih kalau lo mau jadi Kakak Ipar gue, itu artinya lo juga harus siap punya Adik Ipar modelan gue juga tapi bukan itu yang penting, lo serius ketemu Abang Jaz kemarin pas lagi ketemuan sama Dewi?" Dan gue mengangguk pelan, ya memang begitu.

"Abang Jaz nanya dong tu orang siapa? Wah." Gue langsung menatap Fara sambilan geleng-geleng kepala, pada akhirnya gue setuju untuk nemenin dia ke rumah sakit sebentar tapi sebelumnya gue udah ngirim pesan chat ke Juna juga, gue ngasih tahu kalau gue nemenin Fara sebentar.

"Mau pakai mobil siapa?" Tanya gue ke Fara, nggak mungkin mau bawa satu-satu.

"Gue nggak bawa mobil." Fara cengengesan.

"Terus lo diparkiran tadi ngapain?"

"Ya nungguin lo lah, masa nungguin anak ayam netas." Bener-bener ni anak, gue pikir dia juga bawa mobil makanya ada diparkiran, masih nggak habis pikir, gue mulai mengendari mobil dan Fara juga mulai mutar musik kesukaannya, rusuh udah.

"Gue tunggu di mobil aja ya, lo nggak lamakan?" Ucap gue begitu kita sampai di rumah sakit.

"Heh perempuan, gue ngajak lo bukan karena nggak berani jalan sendirian tapi karena gue malas masuk ke rumah sakit sendirian, kalau lo malah mau nunggu di mobil, gunanya gue ngajak lo itu apaan? Jangan ngadi-ngadi, mending lo turun sekarang." Kesal Fara udah nepuk lengan gue nggak terima.

Ikut turun, gue sama Fara masuk ke rumah sakit dan langsung nemuin Abang Jaz, gue masih bisa denger beberapa orang ngomongin Fara, mereka udah tahu Fara ini siapa jadi udah nggak aneh, cuma yang bikin riuh, gue jadi dibawa-bawa juga deh kayanya, banyak yang nanya gue siapa.

"Fara, siapa? Cantik banget, kenalin dong." Sapa seseorang yang membuat gue kaget, apa-apaan coba?

"Cantikkan tapi sorry ya Dokter Ali, ini calon Kakak Ipar aku." Hah?

"Jaz, beneran calon istri lo?" Tanya Dokter Ali balik ke arah pintu ruang sebelah gue berdiri sekarang, ternyata Abang Jaz udah natap kemari.

"Banyak tanya lo, kerja sana." Jawaban Abang Jaz yang seakan membenarkan pertanyaan barusan, ini adik sama Abang pada kesambet apaan coba?

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang