23 - She Blows Hot and Cold

202 33 8
                                    

Cuplikan renik salju pertama turun, membasahi lahan yang nyaris tandus. Bangunan di atas bukit landai, Sanctum, berdiri tegak dan masif, terisolasi dari sivilisasi. Seperti biasa. Musim dingin di Rusia memiliki reputasi ekstrem dan dingin, tidak begitu sering, namun Audrina tetap membenci iklim monsun di Distrik Federal Timur Jauh.

Tidak ada yang berubah, meskipun embun beku keperakan menutupi separuh lisplang dan eksterior bangunan, gedung tersebut tetap patih menyuarkan petaka. Sudah beberapa minggu telah berlalu sejak Audrina terakhir kali mengais sengsara di tempat ini? Entahlah, dia kehilangan hitungan, bukan karena dia juga ingin mengingat—hanya ada tendensi untuk meluputkan memori-memori mengerikan yang tersimpan di kepala.

Dan kemudian, rasa sakit.

Audrina nyaris menelantarkan betapa gempuran air bersuhu arktik mampu melumpuhkan dorsum dan seluruh sistem tubuh untuk berfungsi sebagaimana semestinya.

Tanpa tertutup sehelai kain, posisi badan membungkuk dengan kedua tangan yang terikat ke atas, menyebabkan pergerakan sekecil apapun terasa menyakitkan. Bibirnya bergetar membiru, namun tidak mungkin Audrina menyerah, harus tetap membuka mata karena aniaya tidak akan pernah berhenti jika dia kolaps.

Itu hukuman pertama.

Dalam sekejap mata, Audrina dipindahkan ke ruangan lain. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, tidak ada celah untuk lari. Dengan badan terikat ke meja, hipotermia mengintai intim, garis sepanjang satu inci yang Mother ciptakan dengan belati peraknya berganti menjadi sayatan yang semakin besar.

Setiap jengkal kulit porselen Audrina tercoreng arbitrer, permukaan ubin polystrene menjadi kanvas berdarah. Likuid kental merabas eksesif, keluar dari banyak luka di seluruh tubuh, deraian merah tua tanpa henti.

Mother memerintahkan para agen OLA lainnya untuk bergiliran mengukir sayatan, hanya menginstruksikan lebih banyak siklus penderitaan tanpa akhir untuknya.

"Darah yang menetes dari tubuhmu adalah darah yang kau hutangkan, Manis."

Aksen Rusia pekat, tegas, memuakkan itu menggema ke setiap seslat pentagon, dan berdebam lantang dalam rungu. Jeritan agonia, gumpalan darah bercampur aduk di tenggorokan, menyebabkan bunyi vokalnya seperti tercekik, menggema ke seluruh ruangan.

Audrina menangkap sayup spektrum Mother, memandangi keseluruhan skenario dengan seringai sadistik melengkapi parasnya, tidak membutuhkan seorang jenius untuk menafsirkan bahwa Mother, Arsay, Diana Kirova—siapapun dia dipanggil—sangat menikmati ini.

Kendati hukuman kedua sudah menempatkan kesadarannya di ujung tanduk, tidak ada yang dapat menandingi yang ketiga.

Clareitna. Ratu Darah. Audrina cukup mengerti mengapa dia dijuluki dengan nama itu. Alih-alih permaisuri, hidupnya tidak lebih dari seonggok daging di atas talenan.

Lupakan singgasana, hanya sebuah kursi listrik tersedia.

Audrina berusia tiga belas tahun saat menghadapi hukuman ini untuk pertama kalinya, dia ingat bagaimana dia berusaha melarikan diri tetapi tidak berhasil, dan Mother memberinya sanksi, tidak peduli bahwa dia masih terlalu muda waktu itu. Elektroda yang terlampau besar untuk tungkai mungilnya, bahkan tali pengikat juga tidak pas dengan batang tubuh sehingga Audrina harus duduk di atas Alkitab agar sesuai dengan kursi.

Tetapi sekarang, kursi itu seakan-akan dibentuk untuk dirinya.

Sengatan listrik yang mengantup, mencekik oksigen dari paru-paru, menghapus setiap pikiran di otak, menghanguskan tulang belulang, menghempaskan jeritan lara tak berkesudahan. Audrina melupakan dunia, titik-titik kegelapan memenuhi visi, mendistrosi realita, tidak ada iluminasi surgawi. Semakin tinggi voltase, semakin intensif denyutan menyakitkan yang melumpuhkan raga. Jantungnya seolah menyusut, menyesakkan, memicu ketidakyakinan bahwa organ tersebut masih berdetak, atau sekadar malfungsi.

AegisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang