46

1.2K 116 26
                                    

Cakra berlari meninggalkan Lidya yang tengah berdiri sendiri. Semua sendi kakinya melemas, ia merambat ke arah dinding. Tubuhnya menyandar lunglai, hilang segenap tenaganya.

Ia meluruh pada dinding itu, emosi menggubah pemikirannya. Ia kalap, kalut, dan stres dalam dunianya. "Apa yang aku lakukan?"

Air matanya tidak henti menangis, jalan lorong pun dibuka. Banyak pengunjuk yang memandang heran dirinya sekaligus mengiba. Tetapi mereka lebih memilih membungkam.

Lidya frustasi, ia tidak ingin salah langkah. Ia berdiri dan mengusap air matanya, berjalan penuh ragu mencari letak di mana Zhiro berada.

Seorang satpam ditemuinya. Ia bertanya, "Pak, permisi saya mau tanya di mana ruang Zhiro dirawat?"

"Pak Zhiro? Iya mbak, mari saya antarkan." Satpam itu berlalu ke arah sebuah lorong. Tidak ingin ketinggalan, Lidya langsung membuntutinya.

"Temannya pak Zhiro?" tanya Satpam tersebut dengan ramah. Lidya langsung mengiyakan sekaligus mengangguk.

"Mbak kenal dengan nona Lidya?" tanya Satpam tersebut penuh selidik. Jantung Lidya berdegup lebih kencang, seseorang menanyakan dirinya kepada dirinya sendiri.

"Tiap hari Dokter Cakra dan Pak Zhiro selalu membicarakan wanita itu. Katanya, dia itu adalah wanita yang sangat disayang oleh pak Zhiro. Tiap mendengar nama itu Pak Zhiro langsung semangat, seperti mendapatkan energi baru. Mungkin itu yang dinanakan cinta, cinta orang kaya mah beda. Kalau bapak saja yang di posisi pak Zhiro, bapak bakal sayang dengan orang lain. Karena bapak juga geram, wanita itu sangat kejam karena menelantarkan pak Zhiro di sini," guman Satpam itu lalu berdecak kesal.

"Iya memang jahat," tukas Lidya mengulangi.

Tatapannya langsung kosong, tubuhnya melayang tidak terarah. Badannya bimbang, ia berada dalam masa yang sungguh jahat. Ia tidak ingin seperti ini, andaikan tau semuanya. Tetapi orang jahat tetap jahat bagaimanapun alasannya.

"Mbak mau tau hal lain lagi? Sudah hampir setahun Pak Zhiro dirawat di sini tetapi orang yang namanya Lidya itu tidak kunjung datang. Bapak mau liat bagaimana wajah wanita itu, cantik atau enggak? Malahan mbak menurutku sangat cantik." setelah menjelaskan panjang lebar di setiap langkahnya, kini ia berhenti di depan sebuah ruangan.

"Ini mbak ruangannya. Kalau ada nona Lidya beri tahu saya, saya mau liat bagaimana rupa orangnya," ujar Satpam tersebut dengan ramah lalu berniat meninggalkan Lidya.

"Tunggu pak," cegah Lidya. Satpam itu memutar lagi dan memandang Lidya dengan penuh heran.

"Bapak telah melihat wanita itu, wanita kejam itu ialah orang yang tengah berdiri di depan bapak," sambung Lidya dengan genangan air mata yang membendung oleh pelupuk matanya.

Wajah satpam tersebut langsung pucat. Ia menelan salivanya, pikirannya merasa tidak enak. Tiba-tiba dia seperti orang yang demam.

"Baiklah nona, sepertinya saya punya kerjaan mendadak di depan," gugup Satpam itu langsung berlalu meninggalkan Lidya tanpa menoleh sedikitpun.

Ketika Lidya akan membuka pintu ruangan tersebut, Cakra mendadak keluar dan memandangi Lidya dengan murka.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Lidya meragu. Cakra memalingkan wajahnya dan memutar bola matanya dengan malas.

"Untuk apa kau kesini? Bukannya kau mau pergi, kan? Pergi aja sana!" sergah Cakra dengan murka. Suster yang berada di sebelahnya langsung berlalu karena takut.

"Siapa yang kau usir? Siapapun dia bawa masuk," teriak Zhiro dari dalam. Cakra menandang Lidya dengan sangat malas.

Cakra menarik Lidya lekas ke dalam ruangan. Zhiro yang mengecek handphonenya kini menoleh ke asal muasal derap langkah yang menganggu konsentrasinya. Ia langsung meletakkan handphone tersebut ke atas nakas dan memandang wanita itu dengan lekat.

"Boleh kah aku di sini?" tanya Lidya melirih, ia ragu. Pikirannya berpikir keras karena dia tidak mungkin diterima di sini. Namun hatinya tetap kekuh untuk berada di sini.

"Jika kau tidak ingin menemuinya, aku akan mengeluarkan orang ini dan mendaftarkannya dalam daftar hitam," gumam Cakra. Zhiro hanya tersenyum ia turun dari atas tempat tidurnya masih dengan infus yang terpasang.

"Mau apa kau?" heran Cakra melihat tingkah Zhiro kini.

"Mau apa lagi? Menjemput hidupku, kau bermaksud agar aku tetap duduk di sana dan membiarkan gadisku pergi? Itu tidak akan terjadi. Pergilah, aku akan memanggilmu jika aku perlu sesuatu," decak Zhiro sedikit terdengar sadis.

"Itu bukan kalimatmu," gumam Cakra langsung keluar dari ruangan dan menutup pintu tersebut. Zhiro tidak mempedulikannya Cakra, meliriknya saja tidak. Matanya kini terfokus kepada orang yang ia sebut sebagai gadisnya.

"Ayo, kau harus duduk. Pasti sangat lelah ditambah lagi kau baru saja pulang dari Belgia," ucap Zhiro sambil menggenggam tangan Lidya dan menariknya lembut ke sebuah kursi di samping tempat tidurnya.

Lidya duduk begitupun Zhiro sedikit kaku terasa ketika dua insan dipisahkan selama setahun. "Kau harus istirahat, pasti lebih sakit rasanya."

"Tidak. Biarkan aku tetap menatap hidupku, bagaimana akan terasa lebih sakit ketika segala pengobat rasa sakit ini ada di hadapanku? Ini tidak sesakit apa yang aku rasakan kemarin ketika aku membentakmu dengan keras, mengusirmu dari rumah ketika waktu hampir beranjak malam dan berpuasa untuk menghubungimu. Kau tau? Aku lebih mirip orang gila beberapa bulan yang lalu," jawab Zhiro menolak untuk berbaring.

"Mengapa kau melakukan semua itu?" tanya Lidya tidak habis pikir dengan nada terisak. Air matanya mengalir deras, namun belum sempat air mata itu jatuh, Zhiro telah memutuskan alirannya.

"Bisa apa aku? Aku tidak ingin melihat kau sengsara karena harus merawatku, menjagaku. Kau tidak harus melakukan itu, bagaimana sebuah tameng malah dilindungi orang yang dijaganya? Aku tidak bisa. Aku memutuskan untuk sengsara di tiap detikan waktu," tukas Zhiro. Air matanya mengalir, mungkin saja ia tengah meluapkan berbagai emosinya.

"Mungkin ini waktu yang tepat untukku bicara, mengutarakan semuanya. Bisakah kau menurutiku? Kau harus cari penggantiku, lelaki yang teramat tepat. Aku tidak punya kesempatan untuk hidup lebih lama, rasa sakit itu mulai meracau kuat. Aku tidak memastikan jika aku dapat menghabiskan waktu akhir lebih lama bersamamu, aku ingin kau bahagia. Setidaknya jika aku pergi kau bisa bahagia, semuanya aku lakukan hanya untukmu, karenamu dan kebahagiaanmu. Jadi, carilah penggantiku, aku lebih memilih menikmati segala rasa sakitku untuk tetap hidup bersamamu. Tetapi, apa yang aku bisa jika nyawaku telah tidak lagi berada di dalam raga?"

Lidya langsung berdiri, rasa sakitnya berkali-kali lipat ketika mendengar pernyataan Zhiro. "Itu tidak akan terjadi!"

"Bagaimana bisa kau memaksaku? Untuk kebahagiaanku? Itu bukan kebahagiaanku! Tidak akan pernah! Darimana kau melihat jika aku akan bahagia dengan segala keputusanmu itu? Aku telah sengsara berada jauh darimu dalam satu tahun ini. Hari-hariku terasa sangat hampa, lebih hampa. Aku akan tetap hidup jika kau hidup, jika kau meninggalkanku maka aku akan mencari kematianku," kesal Lidya dengan linangan air mata yang teramat deras.

Zhiro langsung berdiri dan menarik Lidya dalam pelukannya. "Aku terasa lebih gila ketika jauh darimu."

Zhiro berusaha menenangkan wanita itu. "Tenanglah, aku hanya ingin kau bahagia karena aku sangat menyayangimu. Maafkan aku, aku tidak akan lagi memintamu untuk melakukan itu. Aku akan berusaha untuk tetap hidup hanya untuk hidupku," sesal Zhiro.

"Tenanglah," bujuk Zhiro lagi. Sepasang insan memasuki ruangan itu, serentak mereka terkejut.

"Kau siapa?"

I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang