Ucapan Ibu, menyakitkan!

43 1 0
                                    

Pagi ini aku sudah disadingkan muka- muka para petinggi di rumah. Siapa lagi kalau bukan Ibu, Ayah dan Mas Aden.

Sesaat aku melirik Mas Aden seolah bertanya.

"Iki pie Mas?." Dan Mas Aden cuma menggeleng pasrah.

Aku pikir Ibu sudah melupakan keinginanku untuk pindah jurusan. Soalnya pas aku selesai mandi dan langsung keluar kamar aku melihat muka Ibu yang tersenyum biasa. Ehh taunya pas selesai sarapan aku digiring ke ruang tamu.

Sudah 15 menit berlalu. Ibu, Ayah dan Mas  Aden cuma saling tatap. Rasanya jengah banget berasa aku kayak tersangka pembunuhan.

"Ini apaan si!". Helaku akhirnya.

Mereka tetap diam. Aissshh.

"Kafanda." Suara Ayah akhirnya terdengar, nada suaranya itu kayak berat berat gimana gitu.

"I iya," jawabku agak gugup. Ayah menatapku intens. "Ada apa Yah?." Tanyaku masih menatapnya.

"Harusnya Ayah yang tanya. Ada apa? Kamu kenapa?," tanya Ayah balik.

Aku menelan ludah seketika. Tatapanku berpaling pada Ibu, namun Ibu malah mempalingkan wajah. Membuatku sedikit kesal.

"Ada masalah sama kuliah kamu?." Tanya Ayah lagi karena aku masih diam.

Aku teringat ucapan Ibu saat di kamar.

"Selesaikan kuliahmu dengan nilai yang memuaskan, biar Ibu dan Ayah tidak menyesal karena sudah membiarkanmu hiudp hingga saat ini."

Ya tuhan!! Ibu sungguh menjengkelkan. Umpatku dalam hati.

"Tidak. Tidak ada masalah kok Yah, semua baik-baik aja." Ucapku.

"Bener?." Tanya Ayah terlihat masih ragu akan jawabanku tadi.

"Iya Ayah. Semua baik-baik aja... semoga." Aku sengaja memelankan suaraku dikata terakhir.

"Kata Ibu, kamu mau mengatakan hal penting makanya kami semua kumpul disini." Kata Ayah yang spontan membuatku menatap kaget pada Ibu.

Ibu ternyata sedang merencanakan sesuatu. Entahlah Ibu sudah cerita soal keinginanku untuk pindah jurusan atau belum ke Ayah. Terlihat dari pertanyaan Ayah tadi sepertinya Ibu belum menceritakannya.

Aku menghembuskan nafas. Kubenarkan letak dudukku.

"Ayah, Ibu, Mas Aden." Panggilku pada mereka. Sontak mereka menatapku.

"Aku janji aku akan selesaikan kuliahku dengan nilai..." ucapku menjeda sambil berikir sejenak.

"Dengan nilai yang memuasakan!." Itu bukan suaraku, itu suara Ibu Fatma.

"Ibu sudah rekam janji manismu itu." Ucap Ibu mengeluarkan ponselnya yang beliau sembunyikan di bawah bantal.

Apa!! Sial, Ibu menjebakku.

"Jangan buat keluarga malu dengan kenginganmu yang konyol itu. Anak Ibu bukan kamu saja, apa yang kamu minta harus dituruti. Jadi kamu juga harus bisa menuruti keinginan Ibu, lulus dengan nilai terbaik. Jangan hanya soal kpop yang kamu pikirkan, tapi jeripayah Ibu dan Ayah selama ini coba kamu pikirkan?."

"Punya anak gadis satu tapi nggak ada gunanya." Ucap Ibu mengakhiri sidang pagi ini.

Ibu melangkah pergi meninggalkan ruang tamu. Ayah bungkam dan Mas Aden juga ikut bungkam tidak ada yang membelaku.

Kata-kata Ibu sungguh menyakitkan. Seolah aku bukan anak kandungnya, seolah aku hanya benalu di keluarga ini.

"Sabar ya," terdengar suara Ayah. Beliau memenglus pundakku pelan sangat pelan.

"Ayah ke kamar dulu ya." Kata Ayah beralalu meninggalkanku dengan Mas Aden.

Aku menunduk lemas, mataku rasanya pedih. Aku menangis dalam diam. Sungguh menjengkelakan. Ini semua membuatku muak, tidak ada yang menyangiku dengan tulus. Tidak ada!!.

"Maafin abang." Suara Mas Aden akhirnya terdengar. Dia hanya mengucapkan seperti itu dan menepuk pundakku pelan lalu pergi meninggalkanku seorang diri.

Sialan!!! Apa salahku? Tidak ada yang peduli padakku. Setidaknya mencoba menghiburku pun tidak ada.





Matematika dan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang