Kupandangi kartu undangan di hadapanku dengan cukup lama. Setelah beberapa menit, pandanganku beralih ke layar smartphone. Membaca sekali lagi undangan digital yang tersebar ke teman dekatku atau grup WA yang rasanya perlu diberitahukan perihal pernikahanku.
Ya, pernikahanku. Setelah sekian lama, akhirnya... aku menikah dua minggu dari sekarang. Tepat pada tanggal 20 Februari 2020, aku akan menikah dengan seorang lelaki. InsyaAllah.
Perjalanan menuju pernikahan ini, bukanlah perkara mudah. Berkali-kali ada hati yang patah. Patah? Sungguhkah itu? Atau, lebih tepatnya sebuah penyesalan? Penyesalan untuk apa? Bukankah takdir tidak akan terlewatkan jika memang itu takdir untuk kita?
Ya, takdir tidak pernah terlewatkan atau melewatkan jika memang itu sebuah takdir untuknya. Setidaknya, itu yang kupelajari selama perjalanan menuju pernikahan ini.
Tok... tok...
Sebuah ketukan pintu menyadarkanku. Bagaimana tidak? Pintu kamarku diketuk sangat keras. Aku tahu, itu pasti adikku. Mungkin, dia kira aku tertidur lagi karena biasanya, setiap hari Minggu, aku menghabiskan banyak waktu untuk tidur.
"Gue ngga tidur kok, Nay. Masuk aja, pintunya ngga dikunci," kataku sambil merapikan undangan yang bergeletakan di kasur.
"Kirain tidur lagi. Jadi ngga minta anterin ke rumah Kak Nana?" Naya bertanya sambil membawa tumpukan baju yang sudah disetrika oleh ibu.
Aku menepuk jidat, "Ya ampun, gue lupa. Jadi, Nay. Gue mandi dulu."
"Cepat ya. Gue mau ngaji soalnya."
Rumah Nana terlihat sepi. Perasaan masih Pkl 09.00. Kata sahabatku itu, dia baru berangkat keluar kota sekitar jam 2 siang. Seharusnya, masih ramai di rumahnya apalagi hari libur begini, seluruh keluarganya ada di rumah.
"Assalamualaikum..." salamku untuk ketiga kalinya. Aku mengetuk pagar rumahnya lebih keras daripada sebelumnya.
Satu menit berlalu, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Kucoba meneleponnya. Nihil, tidak terjawab. Baiklah, aku coba dua kali lagi meneleponnya. Kalau tidak diangkat, aku kembali besok saja setelah pulang kerja.
Tepat pada panggilan kelima, Nana mengangkat telepon, "Sorry, Nisya. Tadi gue boker. Sakit perut banget. Ngga bisa angkat telepon atau bukain pintu. Bentar ya, gue keluar dulu." Aku hanya meng-oke-kan. Nanti kalau ketemu baru deh, aku balas. Hihi.
"Sepi banget rumah lue. Pada ke mana?" tanyaku ketika sudah masuk ke rumahnya.
"Udah pada jalan. Tadinya, gue mau bareng. Eh, perut gue sakit. Suami juga belum nyampe ke Jakarta," jawab Nana dari dapur.
"Suami lue keluar kota lagi?"
Nana mengangguk sambil menyodorkan minuman dingin, lemon ice. "Calon manten ngga apa-apa kan minum es lemon? Ngga pake gula kok, cuma madu dikit."
"Dih... emang ada larangannya?" tanyaku sambil mengambil minuman yang disodorkan Nana.
"Oh ya, gue tinggal bentar ya. Mumpung inget soalnya. Kaos dalem anak gue belum dimasukin ke tas."
"Emangnya anak lue udah jalan duluan?"
"Iya, minta ikut sama nenek dan kakeknya. Ya udah, gue mah senang-senang aja berangkat berduaan sama bapaknya," Nana menjawab dengan cengiran. Emang tidak berubah kelakuannya dari SMA. Ceplas-ceplos dan bawel.
Sambil menunggu Nana keluar kamar, aku mencari undangan untuknya. Setelah diberikan ini, dia pasti bertanya panjang kali lebar. Pokoknya super-super banyak deh pertanyaannya. Salahku juga sih merahasiakan prosesnya bahkan ke sahabat terdekat. Bukan apa-apa sebenarnya. Aku hanya ingin semuanya mendekati jadi, barulah menceritakan segalanya.
"Oke beres," Nana menarik koper dan meletaknya di dekat pintu rumah agar mudah diingat. Maklum, dia pelupa parah. "Gimana Sya? Ada apa nih ke rumah gue? Tumben loh. Beneran mau kasih undangan? Undangan nikah bukan nih? Bukan undangan kayak waktu itu kan?"
Aku menyodorkan sebuah bingkisan berwarna hijau muda. Sengaja merancang undangan yang dapat berfaedah, bukan undangan biasa berbentuk kertas.
Secepat kilat, Nana menyambarnya. Membaca dengan seksama seluruh bagian undangan. Begitu selesai, dia menepuk lenganku, "Apaan nih? Kok tiba-tiba gini? Gimana ceritanya? Kok gue ngga diceritain? Parah sih lue!"
"Gue minum dulu, boleh?"
"Nggalah!" protes Nana. Sungguh, dia tidak terima. Bukan, bukan karena pernikahanku, melainkan undangannya yang mendadak baginya.
"Panjang ceritanya, Na. Haus gue..." kataku memelas.
Nana hanya cemberut.
"Gini, Na, ceritanya..."
YOU ARE READING
Journey to Samara
RomanceMenikah bukan perkara mudah untukku. Menentukan pilihan untuk seseorang mendampingiku sepanjang hidup yang tak hanya di dunia, tetapi juga di surga-Nya, itu ternyata lebih sulit dibandingkan memilih jurusan saat ingin kuliah dulu. Yang menjadinya le...