°°°
Aku menghela napas kasar saat lagi-lagi, Pak Adit mengatakan Seno -salah satu muridku- melakukan pelanggaran. Kali ini, merokok di area sekolah.
Guru-guru yang lain mengatakan bahwa mereka sudah tidak kaget lagi dengan tingkah Seno. Mereka marah, tentu saja. Apalagi saat tingkahnya merugikan pembelajaran atau mengusik ego mereka. Tetapi, mereka sudah angkat tangan. Bahkan, aku mendengar gosip bahwa aku ditempatkan menjadi wali kelasnya karena tidak ada yang mau menjadi wali kelasnya.
Kata mereka, dia separah itu!
Tidak kataku. Kabar baiknya, Seno dan teman-teman nakal-nya menerimaku dengan baik sebagai wali kelas. Mereka bisa aku ajak menjadi murid ataupun menjadi sahabat. Mereka tidak segan bergurau denganku dan bercerita tentang banyak hal. Dan poin terpenting adalah mereka tetap menghormati dan menghargaiku sebagai seorang guru.
Pintu ruang guru terbuka dan menampilkan Seno dengan wajah datarnya. Ini sedikit mengusikku. Maksudku, dia tidak biasanya seperti itu. Biasanya dia akan datang dengan senyum dan wajah tanpa dosa, atau jika sedang emosi, dia akan menampilkan mimik marahnya. Bukan datar seperti saat ini.
Sialnya, itu membuatku yang tadinya ingin memarahinya malah merasa harus bersikap seperti temannya di saat seperti ini.
Seno duduk tepat di depan mejaku, karena memang Pak Adit mengatakan ia menyerahkan masalah Seno padaku dan telah menyuruhnya datang. Baru rokok menyeruak dalam Indra penciumanku, membuatku berpikir seberapa banyak ia menyesapnya.
"Sen...." Kepalanya tidak tertunduk, tetapi pandanganya mengarah pada map-map yang terletak di mejaku. Pandangannya berjalan seakan ia sedang membaca satu persatu tulisan yang ada di atas map-map tersebut.
"Kenapa? Kamu ada masalah?" Dia tetap bungkam, namun hanya sedetik, dia mengangkat pandangannya. Ada sorot benci dalam tatapan itu. Dan, dengan segenap hati aku akui, aku takut dengan tatapan seperti itu.
Aku memang gurunya. Dia hanya siswa kelas dua SMP. Tetapi, ketakutanku akan tatapan benci tidak pernah memandang siapa pemiliknya. Dan, kali ini, dia yang memilikinya.
Aku menahan diri untuk tidak bersuara sesaat agar dia tidak merasakan ketakutanku. Bagaimanapun, aku gurunya. Aku harus merangkulnya dan melepaskannya dari kebencian yang entah dari mana datangnya. Setidaknya, agar dia keluar dari masalahnya kali ini di sekolah dan tidak membuat masalah baru yang akan memberatkannya.
"Ehm... Sen, bisa cerita ke Ibu, ada masalah apa?" Dia bergeming. Pandangannya terus bergerak di atas mejaku.
"Apa kamu butuh teman di sini? Biar kamu rileks cerita ke Ibu." Dia menghela napas kasar.
"Sen... kalau kamu nggak ngomong masalahnya, Ibu nggak tau gimana harus membela kamu di depan guru-guru lain." Aku tau anak seusianya ada pada masa dengan keingintahuan yang tinggi. Mungkin dia sedang mencoba-coba. Tapi, aku tidak bisa mengabaikan ekspresi dan tatapannya.
"Ibu..." Akhirnya aku mendengar suaranya yang menggantung.
"Hmm?" Aku hanya berdeham agar dia tau aku mendengarkan.
Setelahnya, tanpa aku duga, Seno lagi-lagi mengangkat pandangannya. Kali ini tak cuma sedetik atau beberapa detik. Pandangannya mengunci pandanganku hingga tanpa sadar aku menahan napas sejenak. Sorot benci itu semakin kentara. Bercampur dengan sorot luka. Ada seberkas pikiran yang mengatakan bahwa sorot benci itu ia tujukan padaku. Tapi hatiku mengelak karena tak menemukan alasan tepat untuk kebencian itu.
Ada apa dengan anak didikku ini?
"Nggak usah sok peduli!"
A-apa? Apa katanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
[1/1] Kisah Kasih di Sekolah
Short StoryKata orang, dia nakal. Aku setuju. Tapi saat orang mengatakan, dia tak memiliki kesempatan, aku yang akan memberikannya kesempatan. Saat orang mengatakan, lebih baik menghindarinya atau menjaga jarak, aku yang akan merangkulnya. [Depok, 16 Oktober 2...