Jalan Rasuna Said masih lengang. Matahari juga tampak enggan muncul di cakrawala. Tapi derit roda gerobak itu sudah menggilas aspal berdebu. Ayah menarik gerobak dengan sisa kekuatan di tangan hitam legamnya. Topi caping kumal terpasang miring di kepalanya. Rambutnya berkerak, penuh kotoran dan kutu-kutu berloncatan girang di sela-selanya. Bajunya itu-itu saja, sudah seminggu atau dua minggu tak terganti. Berat gerobak tak terasa dia hela. Sudah semalaman perutnya tak terisi makanan namun langkahnya tetap mantap menapak jalanan.
Di dalam gerobak, sedang terbaring pulas si Kunang. Baju kuning compang-campingnya tersandang di bahu kurusnya. Matanya terpejam erat. Tangan ringkihnya memeluk sebuah boneka beruang tanpa kepala, hartanya paling berharga. Dia sedang bermimpi, berlenggang senang di sebuah taman ria, bersama teman-teman khayalannya. Langkahnya riang ringan bak melayang. Rambutnya hitam tergerai, melambai bersama angin semampai. Gurat-gurat luka dan kesedihan di wajahnya tak terlihat. Bermain wahana-wahana yang menyenangkan, dia berbahagia disana. Seperti dunia begitu indah dan ceria baginya.
Ayah membangunkan Kunang dengan tepukan lembut di pipi. Mata sayunya terkejap, mengaburkan mimpi. Badannya masih terasa pegal karena lekuk punggungnya terbengkok sedemikian rupa ruang sempit gerobak. Bergumul dengan 1001 benda ajaib yang Ayah kumpulkan sepanjang perjalanan mereka.
"Ada apa Yah?" tanya Kunang, masih setengah mengantuk.
"Hari ini kita mau lewat mana? Setiabudi atau Menteng lagi?"
"Hmm... Lewat Menteng aja Yah. Aku mau melihat rumah-rumah besar itu lagi."
"Ya sudah kalau begitu. Kamu tidur lagi saja ya. Ayah mau berputar dulu."
"Baik Ayah." Kunang mendesakkan kaki dan tangannya kembali, menyesuaikan diri dari impitan dinding seng gerobak. Mimpi-mimpi itu pun kembali terajut secepat Ayah memacu tandas roda-roda gundul gerobak.
Tampaknya, mata tua Ayah yang kian rabun karena katarak, membuat kemawasannya berkurang. Tak selang lama, dari arah Menteng, sebuah mobil melaju kencang. Mabuk sepertinya. Hingga olenglah pengemudi melihat Ayah yang tiba-tiba menyeberang. Tak melihat ada mobil yang dikebut ugal-ugalan, badannya yang renta tertabrak, terpelanting jauh, menghantam keras trotoar. Sang pengemudi panik. Dipacunya saja mobil itu menjauhi Ayah yang tergeletak berlumuran darah. Nafas terakhir Ayah megap-megap. Mungkin tak tertolong lagi.
Kunang tak sadar dan masih tertidur pulas di dalam gerobak. Bermimpi rumah-rumah besar yang entah kapan bisa dia tinggali bersama Ayah.
***
"Eh... Bangun lo anak monyet!" Ditendangnya badan Kunang hingga dia terjerembat jatuh dari kursi halte bus beralaskan karton usang. Kepalanya membentur lantai beton kasar. Orang itu kembali membentak dengan nada kasar.
"Gara-gara lo kemarin gw kena masalah. Batu sih lo! Gw bilang jangan betingkah. Ilang duit gw!" Ditendangnya lagi badan Kunang. Kini tepat mengenai ulu hatinya.
Kemarin, saat mereka sedang mengemis di daerah Kebayoran Baru, si orang ini, yang suka disebut Jeje, tertangkap sepasukan Satpol PP. Jeje kesal karena Kunang ketika digendong, tidak mau diam saat mereka berusaha melarikan diri dari kejaran anggota bersenjatakan pentungan itu. Jeje terjerembat jatuh. Kunang terlepas dari gendongan dan berhasil kabur, namun Jeje tertangkap. Lalu Jeje dititipkan di panti sosial namun dikeluarkan dengan uang jaminan hasil mengemis mereka seharian.
Kunang meringis, terbatuk-batuk. Perutnya sakit. Bukan hanya karena ditendang, namun dari kemarin perutnya belum terisi benar. Jeje lalu menarik rambut Kunang keras-keras, menariknya ke kursi besi halte di jalan Patimura Raya itu.
"Gw mau hari ini lo yang ngemis di Blok M. Banyak duit disana. Gw dah bilang Bang Bendrik lo boleh nyari duit disana. Lo pake noh si kostum Marsha. Lo joget-joget dah. Duit bagi dua buat gw ama Bang Bendrik. Sisanya buat lo." Kunang tahu dia tak akan mendapatkan apa-apa dari hasil mengemisnya kali ini. Tapi dia tak berdaya untuk membantah. Tak ada tenaga lagi untuk itu. Bibirnya bergetar, menahan miris..
YOU ARE READING
Mimpi si Kunang
General FictionIs this the real life? Is this just fantasy? Caught in a landslide, No escape from reality. Apa yang dirasakan Kunang nyata, atau hanya mimpi? Kunang terjebak antara harapan dan realita. Antara hidup dan mati.