1 - Hilang

252 17 22
                                    

"Seperti langit malam, yang begitu gelap. Tanpa bintang-bintang yang menggantung. Tanpa mimpi-mimpi yang menghiasi. Tanpa rasa belas kasih. Engkau pergi tanpa alasan. Engkau membenci tanpa ampun. Engkau selalu bagaikan singa bagiku. Singa yang memperoleh akal pikiran, tetapi diabaikan. Tak memiliki manfaat, pun tak bermanfaat untukku. Namun, disetiap langit malam yang begitu gelap, pasti ada bintang-bintang yang ingin bersinar. Aku yakin itu. Dia berharap kepada awan hitam pekat agar lari tunggang-langgang menjauhi langit. Hingga karena kegigihan para bintang, akhirnya mereka bisa tersenyum gembira dan merasa senang seperti dulu lagi. Aku juga ingin seperti para bintang, yang dapat melenyapkan 'engkau' dari dunia ini. Sampai aku merasa senang kembali. Atau alangkah baik aku tak pernah dilahirkan di dunia yang sekejam ini."

Tentunya kalian ingin tahu sepucuk daun kehidupanku yang menyedihkan, membosankan, dan sedikit menggembirakan. Tak, aku tak hanya akan menceritakan sepucuk daun saja, tetapi sampai ke akar-akarnya. Oleh karena itu, bersiaplah!

Inilah kehidupanku.

Faeyza, Faeyza saja.

**********
21 Desember 2007

"Hahaha..., aku menang, kau kalah. Ini sudah kali ke seribu nya kau kalah. Kau memang manusia bodoh! Bermain kartu remi saja kau tak bisa." Padahal lawan bicaranya boneka monyet.

"Sudah, sudah. Mari kita rehat dulu, kawanku yang bodoh. Ayo kita minum bir ini dulu." Sembari mengambil teko di sampingnya yang nyatanya berisi air putih. Dia menenggaknya hingga merasa puas.

Aku bergidik ngeri ketika aku kembali melihat pemandangan ini. Pemandangan yang bahkan lebih buruk saat aku harus menonton manusia disiksa hingga darah merah segar keluar dari tubuhnya.

Dia berbicara dengan boneka itu lagi. "Ah, segar. Aku merasa mabuk kepayangan. Kawanku yang bodoh, kau mau bir ini?." Dengan mendekatkan telinga kirinya pada mulut boneka, seakan-akan dia dapat berbicara. "Apa, mau? Baiklah, ini aku beri kau semuanya. Minum sampai mabuk dan puas." Sambil menjatuhkan semua air putih dalam teko ke mulut boneka, hingga lantai berlapis semen ikut basah kuyup.

Kulihat dia menaikkan teko itu dengan lubang keluar air menghadap ke bawah. Kosong, tak ada yang mengalir, pertanda air putih sudah habis keluar. Dia kini menangis menjerit-jerit layaknya anak kecil yang pergi ditinggal orang tuanya pergi ke pasar. "Huaaa!!, kau menghabiskan semua bir nya. Kau kini bukan kawanku lagi. Akan kubunuh kau kawan penghianat!"

"Dia benar-benar sudah gila." Ucapku lirih.

Perempuan yang ada di ruang seberang itu adalah Ibu kandungku sendiri. Kondisinya kini sangat menyedihkan. Dia berubah menjadi manusia gila sebab suaminya-Ayahku-telah meninggal dua minggu yang lalu. Tapi, sekarang ini, bukannya aku merasa sedih atau menangis histeris, aku malah sangat bahagia mendengar kabar Ayahku telah lenyap dari hidupku yang tak jelas, ditambah Ibuku yang gila hari esoknya. Hal ini membuatku dapat mencicipi kebahagiaan, walau hanya secuil.

Lelah melihat ini. Aku keluar dari rumah sakit jiwa sembari menggendong gitar kesayanganku. Aku ingin segera pulang kerumah untuk mandi, makan, tidur.

Beruntungnya, di tepi jalan aku beridiri, ada angkot berwarna putih-oranye lewat. Karena pikirku tak mungkin angkot jam-jam sesore ini masih beroperasi. Aku langsung memberhentikannya, naik ke dalam angkot, lalu duduk manis. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya diam. Tak bertanya pada sopir angkot mengapa waktu seperti ini masih bekerja, atau sang sopir bertanya basa-basi padaku sekolah kelas berapa.

Angin masuk melewati pintu angkot yang ternganga sebelah samping. Aku memeluk diriku sendiri. Dingin. Sedingin hidupku, yang tak pernah merasa bahagia setitik pun. Yang ada hanyalah kisah suram, suram, dan suram.

xyz oneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang