cute.

1 0 0
                                    


Mario melihat di jam tangannya. Tertera angka dua puluh satu, dan dua angka nol berjajar. Masih empat puluh menit lagi dari keberangkatan keretanya. Dia mencari kursi kosong di sekitar dan berhasil menemukan kursi panjang yang letaknya tidak jauh dari sudut kawasan yang di perbolehkan merokok. 

Mario tidak merokok tapi dia tidak keberatan jika ada asap rokok yang tercium olehnya. Tidak banyak orang dari sudut itu. Hanya ada seorang lelaki dengan pakaian selayaknya seorang professional pada umumnya. Celana hitam, kemeja putih, dan jas di sampingkan di bahu. Tidak lupa tas tangan yang diletakkan seenaknya di dekat kaki.

Setelah memastikan tidak ada yang hendak duduk di sampingnya, ransel yang tidak terlalu besar dirapatkan ke badan. Mario melihat kanan kiri, menarik napas panjang lalu merogoh saku dan mengambil ipod-nya. Earphone di pasang lekat di kedua telinganya. Ibu jarinya sibuk bergerak di atas layar sentuh dan pikirannya bimbang untuk menentukan lagu apa yang ingin dia dengar. Beberapa kali dia menekan judul lagu berbeda kemudian berakhir pasrah dengan memasukkan ipod ke dalam saku. Dia kembali melihat jam tangan. Hanya berlalu lima menit dari terakhir kali dia mengecek waktu. Bosan, dia menuju kereta yang berjarak lima puluh meter dari tempatnya sekarang.

"Maaf ini Taksana Exspressway ke Yogyakarta benar?" tanyanya pelan.

"Ah benar, anda hendak ke Yogyakarta?" seorang petugas berpakaian rapi lengkap dengan jas dan topi seragam biru menjawab pertanyaan Mario dengan sopan. Mario memperkirakan pria yang rambutnya sudah banyak yang memutih itu adalah pegawai ticketing kereta yang hendak dia naiki.

"Iya."

"Maaf, bisa saya tahu nama anda." Pria itu membawa kertas berisikan nama-nama penumpang dan nomer kursi di mana mereka akan menghabiskan perjalanan sekitar sembilan jam dari Jakarta ke Yogyakarta.

"Mario Agastya."

"Mario Agastya..." pria itu mengulang nama Mario sambil menelusuri nama-nama penumpang di daftarnya.

"Ah, silahkan di nomor 14 E. Anda mau naik sekarang?" Mario mengangguk. Duduk dan menunggu di dalam kereta selama setengah jam mungkin akan membosankan. Tapi dia pikir itu lebih baik karena kalau dia tertidur tidak perlu takut tertinggal.

Kepergian Mario ke Jogja adalah antara terencana dan tidak. Kemarin dia memesannya lewat situs agen kereta tersebut, membayarkan di toserba terdekat di hotel dan sekarang siap melewati malam di dalam kereta yang di rekomendasikan sebagai kereta paling nyaman tersebut.

Waktu kecil dulu Mario ingin memiliki tinggi menjulang tapi dia pikir dengan tinggi 170 cm dan bisa duduk dengan nyaman di kursi kereta semacam ini (dan pesawat) juga adalah suatu anugerah.

Kereta terdiri dari dua kursi per baris. Di dalam kereta sudah ada beberapa orang duduk di kursi masing-masing. ke semuanya adalah anak muda. Mario mengeluarkan bantal leher yang selalu di bawanya ketika berpegian, menyelimuti dirinya dengan selimut yang sudah tersedia sebagai bagian dari servis perjalanan, memastikan tidak akan kepanasan di udara kereta yang sudah terlalu terasa hangat. Dia meraih kembali tasnya dan mengeluarkan buku tulis kecil. Dia kemudian menulis waktu saat naik kereta, dan waktu saat dia menulis catatan ini.

Mario menghela napas. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa sangat nyaman. Buku catatannya masih berada di pangkuan dan dia bersandar ke jendela. Dia terlalu enggan melihat jam tangan saat kereta mulai bergerak. Dia hanya tahu ada seseorang yang duduk di sampingnya. Tercium aroma raspberry.

Mario tiba-tiba terjaga. Dia langsung mengingat-ingat mimpi apa yang barusan di alami sehingga dia bisa menyalahkan hal tersebut sebagai alasan akan kenapa matanya tiba-tiba terbuka. Dia bahkan merasa amat segar. Leher bagian kanannya terasa kaku, di pijatnya pelan bagian itu. Mario menggaruk kepalanya yang tidak gatal, meregangkan otot tubuhnya kemudian tersadar bahwa buku catatan kecilnya tidak ada di pangkuan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 17, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TwogetherWhere stories live. Discover now