Juna menghempaskan tubuh yang baru saja habis dipukulinya. Pria disana nampak sudah tak bergerak. Terkapar dengan wajah lebam dan mulut berdarah.
Mata Juna mendongak. Tatapannya tajam dan rahangnya mengencang. Amarah belum reda dalam dadanya. Wanita yang ditatap sedemikian tajam itu mundur beberapa langkah. Sesekali ia meneguk ludah.
Juna menarik tangan wanita itu kasar. Walau wanita itu memberontak dan menjerit untuk dilepaskan. Cengkeramannya justru semakin kuat.
Highill merah Calista menyeret ubin lantai. Ya, wanita bergaun merah darah dan berpotongan rendah itu adalah Calista. Yang berusaha menyamai langkah panjang Juna. Tubuh Calista dihempaskan masuk ke mobil. Juna memutar langkah dan membanting pintu mobilnya. Ia menghidupkan mesin lalu menaikan kecepatan.
Sampai di rumah. Bukannya pertengkaran mereka mereda. Justru pertengkaran itu berlanjut di depan perkarangan.
"Kenapa kau melakukannya?!"
"Melakukan apa?!"
"Kau pergi ke diskotik, berpakaian seperti ini dan bercumbu dengan laki-laki lain. Apakah kau tidak punya harga diri, Hah?!"
"Kalau ya, memangnya kenapa?! Bukankah kau juga sama? Sesama brengsek tidak usah bertanya. Jangan berlagak sok suci."
"Aku ini masih suamimu, Calista!"
"Mulai minggu depan tidak lagi."
"Apakah kau pernah menganggapku sebagai suami selama pernikahan ini?"
"Pertanyaanku sama, apakah kau pernah menghargaiku sebagai istri?"
"Aku bekerja siang malam untukmu. Dimananya aku tidak menghargaimu? Kau sendiri tidak pernah melayaniku. Jangankan memasak, melayani keperluanku bahkan tidak pernah. Kau hanya mementingkan wajah dan pakaianmu. Kau itu egois, Calista."
"Egois katamu?! Kau sendiri bagaimana?! Kau sibuk dengan kerjaanmu. Kau pikir aku hanya pajangan di rumah ini? Untuk apa ada pembantu jika tidak digunakan untuk memasak? Dan, keperluan mana yang tidak kupenuhi? Aku bangun pagi-pagi itu untuk apa? Untuk menyiapkan semua keperluanmu! Kau saja yang buta dan terus membandingkan aku dan ibumu yang katanya bisa segalanya itu! Kau yang tidak pernah meluangkan waktu untukku! Kau yang egois! Kau lebih mementingkan ibumu! Kau pikir aku tak butuh kasih sayang, Hah?!"
"Tiap hari aku menunggu kepulanganmu di rumah itu, Juna! Sendirian! Tapi, kau bahkan jarang pulang kesana. Kau tau bagaimana rasanya menunggu untuk makan malam bersama lalu orang yang kau harapkan tidak pulang? Kecewa. Aku sakit hati. Dan melihatmu begitu mudah mengiyakan setiap ajakan ibumu. Apakah aku tidak berarti bagimu? Apa arti pernikahan ini?"
Juna diam melihat Calista menangis kencang didepannya sampai tersendat-sendat.
"Kau pikir aku tidak tau apa saja yang kau lakukan dibelakangku? Aku sengaja diam dan menahannya selama ini. Kau selingkuh, aku diam. Kau lembur tiap malam, aku mengizinkan walau aku tau kau tidak ditempat kerja melainkan di tempat jalang! Kau berbohong, aku diam. Aku tiap hari menahan cemburu, menahan sakit hati, dan disebut tidak berguna oleh ibumu. Aku hampir gila! Aku bertahan selama ini karena aku cinta kau, Juna! Tapi, ini pembalasan yang kau berikan padaku!"
Calista tertunduk, ia menutup matanya dengan telapak tangan. Dari sela-sela jarinya keluar air yang terus menetes bersama isakan. Juna hanya mampu diam. Ia menyadari begitu banyak kesalahannya.
"Awal pernikahan, keluargamu begitu baik padaku. Semakin berjalannya waktu, kejelekan itu mulai terlihat. Ibumu menyalahi ku terus yang tak bisa apa-apa. Membanggakan menantunya yang lain dan membandingkannya dengan ku. Lalu saat aku belum hamil. Aku yang dituduh mandul. Kau tau bagaimana rasanya perasaanku saat itu terjadi? Aku marah. Tapi tidak bisa melampiaskan. Kau pun tak pernah membelaku. Sekarang, aku baru mengerti arti pernikahan ini. Bisnis kan? Kau tak pernah mencintaiku. Aku juga sudah lelah. Mari kita akhiri. Besok aku akan mengirim surat cerai itu kepadamu." Calista menatap mata Juna dengan luka di dalam matanya. Ia tersenyum hambar menyadari reaksi Juna lagi-lagi diam. Tak ada sedikitpun laki-laki itu akan mencegah niatnya. Seakan mengatakan bahwa dia pun sudah tidak betah lagi dengan pernikahan ini.
Calista berbalik. Berjalan. Namun, ia kembali menolehkan kepala ke belakang.
"Dan hari ini, aku akan mengambil barang-barangku. Aku akan tidur di rumah orang tuaku sampai perceraian ini berakhir."
Ditinggal sendiri, Juna mendongakkan kepala ke arah langit. Matanya sangat perih hingga setetes air matanya keluar dari kelopak yang terpejam. Ia masuk ke mobil. Dan pergi dari sana. Tanpa arah tujuan. Dengan pikiran kusut dan penyesalan mendalam. Di tengah lampu merah. Ia menoleh ke jendela luar. Suara berisik berjatuhan mengenai kap mobilnya. Titik-titik kecil mengaburkan kaca depan. Dari balik jendela, Juna memandang hujan di malam hari yang membasahi trotoar dan halte diseberang sana.
***
Ditempat berbeda. Yuna dan Aza sedang berteduh di bawah sebuah halte. Tubuh kecil Aza memeluk tubuh Yuna mencari kehangatan. Kepala kecil itu mendongak, menatap wajah ibunya.
"Ibu, apakah masih lama?"
"Sebentar lagi hujannya akan reda. Sabar ya."
"Kenapa kita tidak langsung pergi saja?"
"Nanti Aza kebasahan dan dingin."
"Tapi, orang itu tidak basah."
"Karena dia berada di dalam mobil. Kita kan hanya punya sepeda."
"Oh, jadi kalau Aza punya mobil. Aza dan ibu tidak akan basah walau sedang hujan?"
"Iya."
***
13 November 2019
Vote dan komen 😉Oh ya di fizzo aku juga ada cerita mirip2 kayak gini judulnya Black Sugar bercerita tentang karma agak dark juga sih tapi nyangkut kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
General FictionWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...