Cerpen.
Happy Reading;~°0°~
Aku membaca ulang puisi yang kubuat dengan hati senang, tetapi didetik setelah membacanya kedua sudut bibirku melengkung ke bawah, menandakan rasa senang itu lenyap tanpa jejak. Aku menghela napas kasar, mengingat puisi yang kubuat tidak akan dihargai oleh siapapun.
Mataku menjelajahi ruang kelas ini, para siswa lainnya sibuk mengerjakan tugas matematika dari Pak Handoko dengan bekerjasama. Sedangkan aku, jangankan bekerjasama seperti mereka, di kelas ini saja aku terasingkan. Lagian siapa sih, yang mau berteman bersama gadis cupu bernamakan Alvisya Kaila Aghysta sepertiku. Dengan kacamata tebal yang selalu bertengger di hidung pesekku, badan gempal dan pipi gembul, kulit kusam nan gelap, serta rambut panjang hitam legam yang setiap harinya dikepang dua, ditambah lagi otak yang pas-pasan. Bagiku kelebihanku hanya satu, yaitu merangkai kata-kata, karena cita-citaku menjadi seorang sastrawan.
"Woy! Pak Handoko, lima menit lagi masuk ke sini," seru Anjas heboh yang baru saja memasuki kelas.
Helaan napas pelan lolos dari bibir pecah-pecah milikku. Tugas itu, jangankan menyelesaikannya, membacanya saja sudah membuatku mual. Oke, aku siap menerima hukuman yang akan Pak Handoko cetuskan untukku sebentar lagi. Serta, hukuman dari Mamaku sepulang sekolah nanti, karena aku yakin Pak Handoko akan melapor pada Mamaku. Bukannya aku senang membuat Mamaku malu ataupun marah, aku hanya pasrah, karena sekeras apapun aku berusaha belajar, tetap saja itu tak ada artinya di mata Mamaku. Jadi, aku memilih memantapkan apa yang aku suka dan apa yang aku cita-citakan.
*****
Aku berjalan gontai menuju pintu rumahku, hukuman dari Pak Handoko sungguh melelahkan, yaitu membersihkan toilet wanita. Ini benar-benar sangat menyedihkan, isi toilet wanita sebenarnya bersih jika baru masuk, namun akan sangat kotor kalau sudah menuju pojok, hampir penuh dengan pembalut-pembalut yang tergeletak tak berdosa.
Oke, sebaiknya aku tidak mengeluh, karena bagaimanapun juga ini salahku yang malas mengerjakan tugas. Aku menyiapkan mental untuk membuka pintu rumahku, meyakinkan diri sendiri agar tetap kuat.
Plak....
Baru saja aku membuka pintu, tamparan keras pada pipi kananku dilayangkan oleh Mama. Wanita paruh baya itu, menatapku tajam, seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sedangkan aku memegang bekas tamparan tersebut dengan air mata yang hampir tumpah.
"Kamu memang nggak ada gunanya, ya? Enggak pernah bisa kamu bikin Mama senang? Kerjaannya bikin malu terus. Apa gunanya kamu sekolah, kalau tugas saja tidak dikerjakan," sergah Mama emosi.
Aku menelan saliva dengan susah payah, ucapan Mama benar-benar menyayat hatiku begitu dalam.
"Bukan Visya yang nggak ada gunanya Ma. Cuma di mata Mama aja Visya nggak ada gunanya," ujarku memberanikan diri membuka suara.
Mama melipat tangannya di depan dada, memandangku dengan tatapan semakin tajam nan menakutkan. "Kamu tuh, anak pembawa sial! Nggak kayak Vista sama Tania. Lihat kedua Kakakmu itu, mereka bisa buat Mama bangga. Vista jadi guru matematika, dan Tania masuk fakultas kedokteran dengan beasiswa. Kamu, bisa apa kamu? Hanya bisa membunuh Ayah kandung sendiri!" maki Mama dengan napas memburu.
Sungguh, air mataku sudah tak bisa terbendung lagi, cairan bening itu turun membasahi kedua pipi tak berdosa milikku. Makian Mama sangat membuat dadaku sesak, bahkan otot-ototku seakan lenyap ditelan bumi, membuatku tak kuasa lagi berdiri dengan tetap tegar seperti ini, namun apapun alasannya aku harus mengatakan isi hatiku. Aku harus tetap berdiri tegap, karena aku sudah tak kuat dibenci Mama karena Mama menganggap akulah penyebab kematian Papa, walaupun awalnya aku juga merasa begitu, tapi apa Mama masih tak bisa memaafkanku? Papa meninggal karena menyelamatkanku dari tabrakan mobil pick up empat tahun silam, sejak itulah aku seakan sampah tak berguna di mata Mama, beliau selalu membanding-bandingkan aku dengan kedua Kakakku, serta senantiasa menganggapku anak tak berguna dan pembawa sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝓐𝓷𝓽𝓪𝓻𝓪 𝓞𝓶𝓫𝓪𝓴, 𝓛𝓪𝓾𝓽, 𝓭𝓪𝓷 𝓑𝓾𝓲𝓱.
Teen FictionIni kisah tentang pelengkap bumi, yaitu laut yang mendominasi planet ini, beserta keindahan di sekitarnya, berupa ombak dan buih. Satu kata untuk buih, yang menemani laut? Mungkin kalian menganggap remeh dia, tapi ijinkan saya memaparkan hal baru da...