Kami diberi tugas oleh para senior untuk meneliti apakah ada gaya tarik magnet di sekitar lautan bermuda. Memang, kegiatan ini sangatlah bahaya, kita tidak tahu apa yang ada di bawah lautan itu. Karena tugas, tentu saja tidak ada yang berani menolak, kami pun harus siap meneliti. Regi, Reva, dan Lea sibuk menyiapkan peralatan yang akan dibawa nantinya. Sedangkan Adi, Bima, dan Tomi mengecek mesin pesawat yang akan kami gunakan. Pesawat ini milik paman Tomi, kami meminjamnya dan kebetulan Pamannya Tomi sangat baik, dan ia meminjamkan pesawatnya. "Mesinnya dengan keadaan baik kok, tidak ada kendala di mesin-mesinnya," lapor Bima. Reva menyiapkan banyak sekali cadangan makanan untuk di pesawat, karena sudah tau nanti Adi dan Tomi yang menghabiskan makanan itu semua. Waktu berlalu, pukul 5 pagi mereka semua sudah harus berangkat.
Angin sejuk di pagi hari, membuat kami tidak ngantuk lagi. Kami semua pun naik ke pesawat, dan langsung berangkat. Bima kali ini menjadi pilotnya, beruntung sekali Bima adalah lulusan tes uji coba mengendalikan pesawat. Sudah hampir 8 hari lamanya perjalanan. Jarak tempuh yang begitu jauh sangatlah melelahkan. "kita sudah dekat dengan tujuan ! Ayo siap-siap !," Kata Regi. Kami menyiapkan semua barang kami, lalu mendarat di sebuah pulau terdekat. Karena Bima sudah mengantuk berat, ia tidak sengaja memencet tombol penghancur badan pesawat yang seharusnya tidak ditekan. "CEPAT-CEPAT KITA HARUS SEGERA TERJUN KE DARATAN!!!," teriak Adi. Semuanya panik tidak main, dan berharap ada bantuan yang datang.Pesawat terjatuh ke lautan yang dalam, dan meledak. Tomi, dan Bima langsung berenang menuju ke pulau yang sudah mereka tuju. Jaraknya 60 meter dari pesawat mereka. Sedangkan Lea dan Reva tidak bisa berenang, mereka terbujur kaku, tenggelam di lautan lepas. Adi dan Regi dengan cepat menolong Lea dan Reva yang sudah tenggelam. Mereka pun menuju ke pulau terdekat. "Kalian tidak apa-apakan??" tanya Tomi. "Mereka cukup butuh istirahat, ayo kita menuju hutan terlebih dahulu." Saat berjalan menuju hutan di pulau itu, kami bertemu dengan seseorang. Rupanya ia warga desa yang ada di pulau itu. "Ayo, saya antarkan kalian semua ke desa." Saat di antarnya, kami dikenalkan dengan Sang kepala desa, Pak Sanusi namanya. Orangnya gagah dan sangat ramah dengan semua orang. "Saya sudah lihat kejadiannya langsung tadi, saya sangat kaget, kalian tidak apa-apakan?" tanya Pak Sanusi. "Baik-baik saja, terima kasih," kata Regi. Pak Sanusi menjelaskan semua aturan yang ada di desa itu, "Sial, kita tidak bisa tinggal di desa ini, maafkan kami Pak Sanusi, kami sudah tidak tahu mau tinggal dimana," Keluh Bima. "Begini, di tengah hutan, kami punya pondok yang sudah tidak ada penghuninya. Seharusnya kalian bisa menempati pondok itu, tetapi saya tidak tahu letak tepat pondok itu. Mau tidak mau, kalian harus menjelajahinya sendiri," kata Pak Sanusi. Kami pun berunding apa yang harus kami lakukan, memaksa Pak Sanusi atau mencari pondok itu. Kami memutuskan untuk mencari pondok itu. "Ah baiklah, saya beri peta ini berjaga jaga bila tersesat, seingat saya pondok nya ada di antara gua dan pegunungan ini. Dan satu lagi yang saya ingin peringatkan kalian, saat di hutan kayu merah, jangan sekali kali menengok ke arah kiri, karena bagian kiri hutan kayu merah penuh dengan gerbang alam gaib. Sangat bahaya sekali bukan?” kata Pak Sanusi. Kami pun berterima kasih dengan Pak Sanusi atas segala bantuannya. Pak Sanusi memberi kami sebuah batu safir yang indahnya tak main. Batu itu harus dikembalikan di sebuah patung ular yang ada di hutan itu. Kami berpamitan dengan warga desa dan pergi menuju hutan. Matahari mulai tenggelam, hutan hutan makin gelap sejadi-jadinya, rasa takut menyelimuti kami. Saat berjalan, kami selalu diikuti suara desis ular. Kami sangat takut untuk melihat kebelakang. "Hadeh kalian ngapain sih takut, orang gaada ular begini loh, cuma suara aja. Paling suara angin lewat," kata Bima. Tak lama setelah Bima berbicara, ia terseret ke arah semak-semak rimbun. Kami pun panik dan mencari Bima. Rupanya Bima dililit oleh seekor ular dan siap diremukkan tulangnya. Adi pun mengusir ular itu dengan cara menyemprotnya dengan cairan cuka dan perasan lemon yang Reva bawakan. Ular itu pun pergi dan hilang. Bima menangis karena sudah mengira ajal akan menjemputnya. "Tuh makanya, jangan main-main di tengah hutan begini, rasain tuh!" ejek Tomi. Kami melanjutkan perjalanan sampai pukul 10 malam. "Sudahlah, kita menginap di tenda saja, kalau dipikir pikir, bahaya juga," kata Regi. Kami pun tidur sementara di tenda, kami merasakan banyak sekali gangguannya, tapi kami berusaha untuk memberanikan diri. Pagi pun tiba, angin dingin masih menyelimuti kami, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Tibalah kami di hutan kayu merah yang menakutkan. Pohonnya sangat rindang dan tingginya sekitar 60 meter. Kami berusaha untuk tidak menengokan kepala menghadap kiri. "Ah pegal sekali leherku, ah gapapa kali ya aku menengok ke kiri aja," remeh Bima. Saat kepala nya menengok kekiri, mata Bima seketika menjadi putih, raut wajahnya pucat dan penuh sengan darah. Rupanya jiwa Bima sudah terbawa ke alam ghaib. Tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Bima. "BIMA !!! KAMU ITU BANDEL SEKALI SIH, SUDAH DI PERINGATKAN MASIH TERUSKAN!" Teriak Lea. Kejadian ini, cukup tragis bagi kami, kehilangan salah satu anggota rasanya sedih sekali. Kami mengubur Bima di tanah kosong, dan memberi rerumputan agar mayatnya tidak bisa dimakan oleh binatang buas. Kami melanjutkan perjalanan, selangkah demi selangkah rasanya berat sekali, dicampur dengan rasa takut yang mendalam. Rupanya kami sudah dekat dengan patung ular yang dimaksud Pak Sanusi. Rupanya, patung itu berwarna emas berkilauan, ular itu tampak sangat menyeramkan. Reva langsung meletakkan batu safir itu ke taring patung tersebut. Tiba-tiba ada suara gemuruh yang menandakan akan ada hujan yang turun. Kami berlari sekencang mungkin agar segera sampai ke pondok. Kami melewati tanah yang begitu menanjak agar bisa sampai ke antara gua dan pegunungan. Kami memutuskan berteduh di bawah tumpukan batu yang besar, dan tinggal sementara. "Eh, apa itu? Ada sesuatu yang berkilau di tengah hutan! Sudahlah, ayo kita bergegas," ajak Tomi. Kami pun berusaha melewati badai hujan yang sangat mengerikan untuk menuju sumber cahaya tadi. Kami sampai di sumber cahaya itu, disana terdapat batu hitam yang sangat besar, dan terdapat pola yang membingungkan di sebuah bagian batu itu. "Ah! Regi, kita pernah membaca sebuah buku yang menceritakan kisah batu ini bukan?," Tanya Reva. "Iya ! Aku ingat sekali, cara menghancurkan batu ini adalah dengan menyentuh pola yang ada secara berurutan," kata Regi. Reva dan Regi sibuk mencoba membuka kode rahasia di batu itu, 3 jam lamanya agar bisa membuka kode itu. Saat berhasil, batu itu terpecah berkeping keping dan ada sebuah peta kuno rahasia yang menunjukkan letak pondok itu. "Sungguh misterius sekali, ayo kita langsung bergegas menuju pondok itu!" Kami berjalan dengan penuh semangat, tanjakan, jurang yang ada kami lalui dengan penuh semangat dan pantang menyerah. Karena kami yakin, usaha kami tidak akan sia-sia. Kami pun menemukan pondok itu, penuh lilitan tanaman dan tanah. "Akhirnya, kita menemukan pondok ini, sangat tua sekali kelihatannya. Sudahlah, ayo kita bersihkan sama-sama," kata Lea. Mereka membersihkan dan merapikan pondok itu dengan semangat agar bisa cepat tinggal di pondok itu. Setelah dibersihkan, rasanya nyaman sekali untuk tinggal, kami tidak ingin pulang lagi. Perjuangan dan keberanian kita semua tidaklah sia-sia, percayalah dibalik semua yang kita tekuni dan kita hadapi ada hasil yang indah. Pasti kita akan bangga dengan segala usaha, dan jangan lupa dengan Bima teman kami yang sudah mau menemani kami, meskipun bandel. Kami pun tinggal dengan tenang di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penjelajahan Pulau Misterius
Mystery / ThrillerKami mengalami kecelakaan pesawat, dan tiba di sebuah pulau yang penuh misteri. Desa asing yang tidak bisa kami tinggali, membuat kami harus menjelajah hutan yang begitu luas untuk menemukan tempat tinggal.