Sejujurnya

402 13 0
                                    

"Kalau kamu seneng dikasih kado sama Zahra, kenapa kemarin kamu nggak makan kue pemberiannya?"

"Itu dari Zahra ya? Kok kamu nggak ngasih tahu?"

Aku terkejut bukan main, kenapa aku bisa lupa tentang rencanaku dengan Shania kemarin. Harusnya saat itu aku berterus terang saja, jika kue itu adalah pemberian Zahra.

"Sebenarnya kemarin dia kesini nggak sih?" tanyanya mengejutkanku yang sedang kebingungan.

"Enggak sih, Fik."

"Owhh, aku kira kemarin dia kesini ... Sebenarnya aku juga mau makan kue itu, tapi karena gak ada Zahra yaudah deh aku nggak makan, ditambah lagi kamu nggak ngasih tahu kalau itu dari Zahra."

"Kenapa harus ada Zahra?" tanyaku mencoba menjelajahi hati Fikri lebih dalam.

"Pengen suap-suapan, hehe," balasnya sambil terkekeh.

Aku kembali terkejut mendengar pernyataannya, ternyata di lubuk hatinya ia ingin bermesraan dengan Zahra di hari ulang tahunnya.

"Aslinya dia juga pengen kesini, tapi katanya dia ada rapat Osis gitu ... Emang dia orangnya sibuk kali ya," ucapnya lemas seperti sedang galau.

"Iya, Shania kemarin juga bilang kalau Zahra lagi sibuk ... Makannya kue itu Shania yang ngasih."

Fikri pun kembali tertawa karena responku akan ucapannya, aku tak tahu di mana yang lucu. Mungkin ia seperti itu karena efek miras tadi.

"Padahal kemarin udah berharap banget dia dateng kesini, aku emang udah niat bawa Nissa kesini biar mereka berdua bisa saling kenal ... Walaupun aku tahu kalau itu bakal susah buat Zahra, tapi aku yakin mereka bakal kenal dengan baik," kata Fikri yang kembali membuatku terkejut.

"Semoga aja bisa gitu, Fik."

"Kamu inget kan waktu itu aku ketemu sama dia di taman kota, waktu kita berdua ketemu di parkiran ... Ya kita berdua bahas ini, dia kaya cemburu kalau aku masih kenal deket sama Nissa, padahal aslinya nggak seperti yang dia pikir juga,"

"Enggak gimana? Kalian aja sering berduaan disini kan?"

"Andai kamu tahu alasannya, Lang."

Raut wajahnya seketika berubah menjadi kesedihan, seperti ada sesuatu hal yang selama ini ia pendam dan ingin dia ungkapkan.

"Kalau ada yang mau diceritain, bilang aja, aku siap dengerin kok ... Tapi kalau nggak bisa ya gak apa-apa," pintaku.

"Kamu jangan ceritain ini ke siapa-siapa ya, terutama ke Zahra ... Di sini, cukup aku sama kamu aja yang tahu,"

"Ayahnya Nissa itu udah meninggal, sedangkan ibunya setiap hari kerja dari pagi sampai malam dan kakaknya kuliah di Jakarta ... Ibunya udah kenal dekat sama aku, begitu juga kakaknya, malahan dia titip buat jagain Zahra dan aku juga udah janji buat jaga dia apapun yang terjadi," jelasnya panjang lebar.

Aku hanya diam, mencoba untuk memahami alasan dari apa yang selama ini aku permasalahkan.

"Jadi kamu jangan heran kalau aku sering bawa dia kesini, bukan karena aku punya maksud apa- apa ... Aku cuma nggak ingin Zahra berfikir, kalau aku punya hubungan apa-apa lagi sama Nissa."

"Maksudnya?"

"Coba kalau aku bawa dia ke tempat lain, dan Zahra tahu itu ... Dia pasti menduga yang enggak-enggak, kalau aku bawa dia kesini dan dia lihat, aku jadi punya banyak saksi kalau aku sama dia nggak ngelakuin apa-apa, anak-anak sini kan kenal juga sama Nissa."

"Iya juga sih ya, tapi Zahra pernah bilang kalau kamu masih sayang sama mantanmu? Padahal kan Zahra itu pacarmu, Fik ... Andai kamu tahu itu buat dia sedih banget."

Ia terdiam, seperti sedang mengingat-ingat hari lalu yang pernah ia alami sebelumnya. Lalu ia malah menyalakan sebatang rokok, dan asap mulai menari-nari di udara tempat kami berada.

"Hmm, waktu itu aku cuma bercanda, eh taunya dianggap serius juga," ucapnya dengan sedikit tertawa.

"Tapi kamu emang bener masih sayang sama Nissa?"

"Lang, rasa sayang itu nggak melulu soal pacaran, tapi lebih luas dari itu," ucapnya membuatku kembali kebingungan.

"Maksudmu apa?" tanyaku sangat bingung.

"Kamu pengen kan bisa terus temenan sama Zahra? Tanpa ada satupun masalah datang sama hubungan kalian berdua, kamu juga ingin jagain dia apapun yang terjadi kan? Tanpa ada rasa ingin kalian buat pacaran, jadi sahabat selamanya ... Itu namanya juga rasa sayang, Lang."

"I... Iya sih," balasku gagu.

"Nah, aku juga sama Lang kaya gitu ke Nissa ... Dan itu juga udah janjiku ke seseorang."

Ia diam menghentikan apa yang ia ucapkan, seperti ada sesuatu yang ia tahan.

"Aku cuma nggak pengen, di alam sana, ayah Nissa kecewa sama aku ... Semoga kamu mau memahami itu, Lang," ucapnya sambil menatap langit-langit.

Aku terdiam, entah mengapa aku menjadi ikut sedih setelah mengetahui semuanya. Dan sekilas ku melihat Fikri mengusap matanya, ia seperti sedang menangis.

"Sebenarnya aku mau cerita tentang ini ke Zahra, tapi aku takut kalau ia nggak mau dengar ... Dan timbul masalah lagi yang lebih besar antara aku sama dia, aku gak mau putus sama dia, Lang."

"Iya, kurasa juga lebih baik gitu ... Soalnya, kelihatannya dia benci banget sama Nissa."

"Harusnya aku jujur ya dari awal," ucapnya menyesal.

Mendengar ceritanya, kurasa selama ini aku telah salah menilai Fikri. Kupikir dia sama sekali tak peduli dengan Zahra sahabatku, tapi ternyata tak seperti apa yang aku duga.

"Lang, menurutmu, apa aku salah di sini?" tanyanya sangat serius.

"Aku nggak tau kamu benar apa salah, Fik ... Tapi apa yang kamu lakukan itu telah menolong sahabatmu, dan itu lebih baik daripada nggak sama sekali."

Ia hanya tersenyum menanggapi apa yang aku katakan kepadanya.

"Besok aku bantuin kamu biar persoalan ini selesai, semoga dia mau mengerti," ucapku.

"Iya Lang, makasih."

Kami berdua pun pulang dari tongkrongan, karena sang pemilik warung akan menutupnya. Saat Fikri berdiri, ia masih berjalan sempoyongan karena efek alkohol tadi. Aku tak heran kenapa jalannya jadi seperti itu, ia minum miras terlalu banyak. Aku pun mengantarkannya sampai ke rumahnya, lalu aku sampai di rumah saat jam setengah dua belas malam.

Tentang apa yang ia bicarakan tadi, sepertinya ia jujur tentang semua yang ia ucapkan kepadaku. Semoga saja memang seperti itu.

Setelah Kita Putus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang