Bab 10: Coto Makassar | 2

4.7K 482 24
                                    

"Kita sampai!" Brahma menghentikan motor sport-nya di sebuah warung tenda yang di depannya penuh dengan deretan motor terparkir.

"Wah, ramai banget," gumam Shalu takjub, harum aroma coto segera menyeruak ke indra olfaktorinya.

Padahal, kalau dilihat dari tempatnya yang sederhana, warung ini tidak menjanjikan cita rasa seluar biasa itu menurut Shalu. Gelaran lesehan di trotoar pinggir jalan kecil, dengan modal gerobak bertuliskan Coto Makassar yang huruf K-nya bahkan sudah hilang. Serius? Alis gadis itu bertaut. Tapi, kalau chef bintang dua sekelas Brahma juga mengakui kehebatannya, apalagi yang perlu diragukan? You'll never know till you have tried, Shalu kembali teringat pesan bertuah yang tertulis di buku tulis Sidu zaman SD-nya.

Brahma mengajak Shalu duduk di meja paling ujung, langsung berpayung langit senja yang menyemburatkan pancaran jingga keabuan. Hmm, lama dia tidak menikmati senja seperti ini. Dulu Papa selalu mengajaknya jalan-jalan setiap sore begini, berkeliling kota naik vespa. Ya, itu bukan sekadar lirik lagunya Naif.

"Kalau hujan gimana, sih?" Shalu bertanya khawatir.

"Tenang aja, ada terpalnya, Shal." Brahma menjawab enteng seraya memejamkan mata, sementara hidungnya tidak berhenti menghirup aroma coto yang memang Shalu akui, mengundang lapar.

"Brahma! Lo kok jadi kaya orang kesurupan gitu, sih!" Shalu mengguncang-guncang tangan sang chef, cemas sekaligus bingung. Sejak turun dari motor, Brahma seperti orang yang mabuk kepayang. Sedikit-sedikit dia memejamkan mata, senyum-senyum, mengernyit, merem lagi, senyum lagi, mengernyit lagi, begitu terus.

"Shalu, can't you feel it? Ini adalah hasil olahan rempah yang luar biasa! Hirup deh, coba hirup aroma kuah coto ini! Ah! Gue masih nebak-nebak dari dulu! Tauto, lengkuas, jeruk nipis, jinten, cabai rawit ... daun bawang, bawang goreng ... Shalu, gue benar-benar kehilangan satu elemen yang gue cari-cari. Setiap kali gue tanya, mereka nggak ngasih jawaban. Sampai stres gue mikirin ini!" Brahma mencerocos panjang lebar, membuat Shalu bergidik. Cowok di depannya bereaksi seolah melihat Cleopatra yang sedang naked--beringas dan sinting.

"Brahma, l-lo ngeri juga ya, kalau lagi kaya gini."

Brahma tertawa mendengar nada heran dalam pernyataan Shalu. "Gue paling benci kalau gue nyobain resep terus gagal, Shal. Apalagi yang bikin gue penasaran gini, bakal gue telusuri sampai titik darah penghabisan," ujarnya dengan mata berapi-api.

Okay, sekarang Brahma berubah jadi Thanos. Dia tergila-gila sama resep dan musuh Avengers itu terobsesi buat nyeimbangin multiverse. Bedanya cuma objeknya aja, kan? Shalu menggaruk dahinya yang tidak gatal. Dia lalu memilih untuk menikmati halimun, membiarkan Brahma asik berfantasi sampai seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka.

"Shalu! Gue benar-benar harus tahu resep rahasia coto ini!" Brahma memekik begitu semangkuk coto dengan uap yang masih mengepul tipis itu sampai di hadapannya.

"Ya ampun, Brahma, lo bikin gue malu. Kita jadi pusat perhatian, tahu!" Shalu berbisik sambil mencubit tangan sang chef. Rasanya dia ingin sekali ber-apparate atau menyurukkan kepalanya ke dalam tas. Huft!

Brahma nyengir. Benar juga, banyak mata yang melirik-lirik ke arah mereka. "Hehe, sorry deh, tapi gue nggak bisa tahan sama makanan enak begini yang gue aja nggak bisa bikin. Itu ngerusak reputasi gue, Shal!" Brahma berkata dengan volume yang lebih lirih, sambil menyuap paru dan jeroan yang terhidang dalam coto tersebut.

"Hmm, daging ini direbus dengan durasi yang pas banget. Ayo cobain Shal, biar lo punya gambaran pas nanti kita masak." Brahma menyuruh Shalu mencicipi cotonya.

Gadis itu menurut dan ... benar saja. Matanya membelalak lebar saat suapan pertama sampai di indra pencecapnya. Pantas Brahma sampai sinting begini, coto ini benar-benar maknyus.

"Hmm ..." Shalu lahap menyendoki kuah coto yang segar, gurih, pedas, dan harumnya bercampur jadi satu. "Benar, chef, ini emang enak banget! Kaya nelan dunia rasanya," ucapnya riang.

Brahma tertawa penuh kemenangan.

*

Sang surya telah sempurna surup di peraduan bersamaan dengan tandasnya coto di mangkuk mereka masing-masing. Shalu menyeruput es jeruknya, dan Brahma tampak sudah kembali waras. Cowok itu menatap Shalu yang hanya terpisah meja kecil darinya lekat-lekat tanpa Shalu sadari.

"Shal, lo udah dari lama kenal Evans?" Brahma memulai pembicaraan inti. Bodoh, dari tadi malah baru mulai gara-gara pikirannya teralihkan pada resep coto Makassar.

Shalu mendongak, memandang wajah Brahma yang tenang seperti biasa. Mata mereka bersirobok, membuat Brahma semakin tenggelam dalam kelembutan sorot netra Shalu di bawah temaram lampu kota.

"Kok lo tiba-tiba nanya gitu? Kenapa?" Shalu balik bertanya.  Terlintas lagi dalam benaknya ucapan Evans beberapa minggu silam. Gimana kabar sepupuku yang sok alim itu?

Hmm, ini waktu yang tepat untuk mengorek ada apa sama mereka berdua, Shalu membatin.

"Nggak apa-apa sih, gue cuma pengin tahu aja. Lo pasti udah kenal lama sama dia dong, buktinya mau kan, dijodohin?"

Bibir Shalu melengkung, dahinya mengernyit. "Hmm, gue sama dia teman kecil. Cuma ..."

"Cuma apa?" Brahma mendesak tidak sabaran.

"Cuma ya, cuma itu. Gue sama dia cuma teman masa kecil yang udah nggak pernah ketemu selama ... berapa tahun, ya?" Shalu mengedikkan bahu. "Seratus tahun kali," sergahnya tidak peduli.

"Kok lo mau dijodohin? Apa alasannya kalau gitu? Waktu seratus tahun kan, bisa bikin orang banyak berubah, Shal." Brahma meneruskan interogasinya.

"Jadi maksud lo sekarang Evans berubah? Berubah kaya gimana? Hubungan kalian berdua gimana, sih?" Pertanyaan yang sedikit menohok hati Brahma itu meluncur begitu saja dari bibir Shalu.

Kenapa cewek ini bisa bicara kaya gitu? Apa Evans bilang macam-macam tentang gue?

"Emm ... Evans, dia sepupu yang baik. Dan hubungan kami yang kaya gimana maksud lo? Hubungan kami ya baik-baik aja," jawab Brahma, berusaha santai.

"Kok lo kaya ragu gitu bilang Evans baik? Jangan-jangan dia mantan residivis lagi!" Shalu mencebik kesal, entah kenapa dia tidak antusias membicarakan calon suaminya dengan Brahma.

"Lho, yang calon istrinya kan lo. Harusnya lo dong, yang lebih tahu Evans, masa gue Shal?" Brahma sengaja memancing. Dia memang benar-benar ingin tahu seberapa dalam Shalu mengenal Evans, untuk memprediksi apakah persetujuannya menikah dengan cowok itu benar dilandasi cinta atau karena alasan lainnya.

"Oke, Brahma. Gue nggak kenal dia! Yang gue tahu Evans hanyalah bocah kecil yang terkencing-kencing pas lihat gue gendong komodo, putra tunggal Tante Mira, calon magister dan entrepeneur muda, juga perokok berat. Itu aja. Huft!" Shalu memainkan sedotan es jeruknya dengan muka masam.

Sang chef menghela napas berat. Lo ternyata benar-benar nggak ngerti seujung kuku pun tentang cowok yang tiap malam bakal tidur sama lo empat bulan lagi, Shal. Perkataan Brahma hanya berdengung di kepalanya sendiri, sementara hatinya bertekad semakin kuat untuk melindungi Shalu.

"Udah lah, gue sama dia toh lagi pedekate. Dan dia bukan tipe yang bad boy-bad boy banget, kok," ucap Shalu seraya berdiri, menyudahi pembicaraan. "Yuk, balik ke rumah Tante Mira!" Ajaknya.

===&===

Gemesh gak sih, sama Brahma?

Makasih yang masih stay tune dan ninggalin voment-nya, ya! ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang