Maaf

964 110 8
                                    

Enjoy!
.
.
.

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Seisi ruangan bersorak senang, membuat Pak Taufik menggeleng heran karena kelakuan anak-anak muridnya yang sudah persis anak TK. Ola juga sama kok. Kebahagiaannya sebagai murid kalau tidak jam kosong, ya saat bel pulang begini. Terbebas dari deretan huruf dan angka di buku-buku paket tebal yang membuat otak mendidih itu rasanya sangat melegakan.

"La, ba-bahan buat p-presentasi ... besok, g-gue kirim lewat WA, y-ya?"

Ola menoleh. Lalu mengangguk. "Oke, tapi jangan malem-malem, ya. Aku kan harus pelajari dulu."

Ijul mengacungkan jempol.

"Terus kalau ada yang kurang, aku boleh usul, kan? Kita omongin di WA aja."

"I-iya."

Ola menyengir. Jadi partner sebangku Ijul, artinya ia jadi lebih sering satu kelompok dengan cowok itu kalau ada tugas. Ia sih tidak masalah. Lagipula kata Rani, walaupun susah berkomunikasi, tapi Ijul itu otaknya lumayan encer. Jadi itu seperti simbiosis mutualisme saat disandingkan dengan Ola yang gampang bicara di depan orang banyak, apalagi kalau cuma di depan teman-teman sekelas. Seperti tugas presentasi bahasa Indonesia besok.

"Yuk, La, bareng kita turunnya. Lo dijemput, kan?" ajak Rani, yang sudah berdiri dengan tas tercangklong di bahu kiri.

"Iya." Ola berdiri, menoleh pada teman sebangkunya. "Ijul, aku duluan, ya?"

"I-iya, La."

Ola tersenyum lebar, berjalan ke arah pintu beriringan dengan Rani dan Citra. Saat sampai di ambang pintu, secara tak sengaja ia menoleh ke arah tempat duduknya. Ijul masih duduk di sana, memandang ke arahnya. Ia tersenyum lagi, melambaikan tangan pada cowok itu.

Mereka bertiga berjalan menyusuri koridor. Sambil bercanda, yang didominasi oleh Rani dan Ola. Sesekali menyapa teman-teman seangkatan, baik yang sudah kenal maupun belum dengan Ola. Iya, Ola memang seramah itu. Meskipun kadang beberapa kali mendapat kernyitan atau tatapan aneh dari orang-orang yang jadi obyek keramahannya, tapi ia tidak pernah tersinggung. Baginya, tersenyum adalah kewajiban. Sekali pun hati sedang tidak ingin tersenyum.

"Nah, nah, itu tuh yang namanya Ivan, La. Yang dasinya diikat kepala!" Rani menunjuk sekelompok siswa yang sedang bermain basket, ketika mereka melewati lapangan outdoor.

Kemarin, kedua temannya ini memang memperingatinya untuk tidak berurusan dengan sebuah geng yang berisi siswa-siswa trouble maker. Mereka adalah yang setiap harinya tidak pernah absen apel di ruang BK untuk menerima pencerahan. Dan yang membuat para anggota komdis—sebutan untuk organisasi bentukan OSIS yang bertugas mendisiplinkan murid-murid—tidak kekurangan pekerjaan. Anggotanya pun tidak bisa dikatakan sedikit, dan terdiri dari anak-anak kelas satu sampai kelas tiga.

Dan Ivan Januar, adalah nama yang begitu sering disebut Rani dan Citra. Cowok itu satu angkatan dengan mereka. Katanya, berpribadi galak dan kasar, tidak peduli lawan bicaranya laki-laki atau perempuan. Ola memperhatikan cowok yang ditunjuk Rani barusan. Penampilannya seperti siswa SMAPRA pada umumnya, minus jas yang dilepas dan dasi terikat di kepala. Semua atribut seragam juga lengkap. Wajahnya pun Ola akui tampan, meski dari jarak lumayan jauh seperti ini pun, ia memang bisa merasakan aura galak cowok itu saat berinteraksi dengan teman-temannya.

"Nggak usah ketipu sama tampangnya, La."

"Iya, buat apa tampang cakep tapi manner minus? Belum lagi mulut cabenya itu!"

Ola menoleh bergantian pada kedua siswi yang mengapitnya itu. "Kalian haters-nya dia, ya? Padahal kayaknya dia banyak fans, tuh."

Ola tidak asal bicara. Ia jelas bisa melihat banyak siswi-siswi yang duduk di bangku-bangku beton mengelilingi lapangan, kebanyakan menatap penuh pemujaan terhadap Ivan. Padahal yang ditatap kelihatan tidak peduli.

Incredible Smile (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang