[9]

453 83 7
                                    

Tidak ada yang berubah dari gedung itu. Dia masih berdiri kokoh menantang langit. Jeno hanya bisa mendengkus kala papan neon yang terpajang menampilkan wajah orang yang familiar.

Kakinya melangkah masuk, mengabaikan tatap dari karyawan yang sedang menyambut istirahat, dia tahu betul kemana harus pergi setelahnya untuk menemukan lelaki yang memberikan mimpi buruk bagi saudara tirinya.

"Mark Lee," desisnya pelan saat bertemu langsung dengan mata Mark yang dihiasi riak kaget.

"Jeno."

Jeno hanya menyeringai, mendekatkan diri pada Mark yang menyunggingkan senyum patah seolah sudah tahu bahwa lelaki ini akan datang padanya.

"Apakah kau punya rekomendasi tempat untuk menghabisi nyawamu selain kantor ini?"

Mark menggeleng disertai tawa kering. "Lakukan saja."

"Aku memang akan membunuhmu, bangsat."

Satu tinjuan yang berasal dari kepalan tangan menghujam pipi Mark telak, membuat lelaki itu mundur beberapa langkah, namun disusul Jeno yang langsung menarik kerah kemejanya. "Itu untuk air mata Haechan," bisiknya.

"Yang ini untuk janji manismu."

"Ini untuk omong kosong yang selalu kau katakan."

"Ini untuk sikap pengecutmu."

Bertubi-tubi, Jeno menghantam wajah Mark yang sudah tak berdaya tanpa perlawanan, kulit putihnya sudah memerah disertai beberapa titik darah yang muncul. Nafasnya tersengal namun tetap berusaha membuka mata.

"Apa k-kau sudah pu-puas?" terbata-bata, ia bertanya pada Jeno yang masih membabi buta.

"Tentu tidak. Aku baru puas saat kau merasakan sakit serupa dengan Haechan."

"Lakukanlah. Pukul aku sesukamu."

Jeno berdecih, menghempas tubuh Mark yang sudah tak berdaya ke atas lantai, membiarkan kepala pirang itu terkulai lemah tanpa pertolongan.

"Ke-kenapa berhenti?"

"Membiarkanmu mati pelan-pelan lebih menyenangkan daripada menghabisimu langsung, Lee."

Susah payah, ia menarik ujung bibir. "Terima kasih. Te-terima kasih sudah memberiku luka sebagai pengalih sa-sakit hatiku, Jeno."

Setelahnya tidak ada lagi konversasi, Jeno berdiri, menepuk kedua telapak tangan seolah membersihkan debu, tanpa suara berjalan keluar dari ruangan Mark dan menutupnya.

Mark yang setengah sadar pasrah, benaknya memutar kembali peristiwa di masa lalu sebelum prahara mendera. Perihal dia dan Haechan dan cinta mereka yang tidak bisa menyatu.

***

"Kenapa!?" tanya itu menggema di ruang keluarga yang besar, terpantul melalui kaca yang berderet menghiasi rumah.

"Karena dia tidak sepadan denganmu, Mark."

Senyum miring terbit di wajah Mark, "Sepadan? Sejak kapan cinta mengenal kata sepadan, Bu?"

"Persetan dengan cinta, Lee Minhyung." Ayahnya angkat suara, "Kau tidak butuh cinta untuk tetap hidup, kau tidak butuh cinta agar bisa bertahan di tengah predator buas. Lepaskan lelaki itu sebelum ayah yang turun tangan."

Mark menggeleng. "Tidak. Sampai akhir, aku tidak akan melepas Haechan."

***

"Jeno dipecat."

Mark menoleh cepat saat suara Haechan terdengar selirih angin sore itu.

"Bukan masalah besar sih katanya," hela napas muncul sebagai jeda, "Tapi aku tahu kalau dia stress berat. Tahun depan, ia akan melamar Jaemin dan dipecat tiba-tiba tentu tidak masuk dalam rencananya, kan."

Let's  RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang