Afian
Aku terdiam, menatap Fira yang tertidur karena kelelahan. Ia baru saja menangis dan meronta, mencari mamanya. Sudah lebih dari seminggu ia melakukan hal ini, hanya karena bertemu dengan Ninda, mahasiswiku. Aku tidak menyadari selama ini Fira benar-benar merindukan sang Mama. Aku mengelus puncak kepala Fira dengan pelan, berharap tidak membangunkannya. Sesekali aku melirik ke sebuah foto yang terpajang di nakas.
Riria, istriku, fotonya yang tersenyum masih terpampang jelas. Rambut coklat bergelombang dan mata coklat gelap yang indah. Entah kenapa, aku bisa melihat dirinya dalam Ninda. Kalau bukan karena tubuhnya yang mungil, mungkin aku bisa salah sangka kalau Ninda adalah istriku yang sudah tiada.
Bocah. Panggilan itu aku sematkan kepada Ninda untuk mengingatkanku bahwa ia bukan Riria, bukan istri yang sangat aku cintai.
"Aku juga rindu mamamu, sayang," ucapku sembari mengecup kepala Fira.
Aku pun meninggalkan gadis kecilku dan menutup pintu kamar. Kulihat Bi Sarti sudah berdiri menungguku di depan pintu.
"Ada apa, Bi?" tanyaku.
"Non Fira nggak apa-apa, Pak?"
Aku tersenyum melihat wanita paruh baya di depanku yang begitu tulus menyayangi Fira.
"Nggak apa-apa, Bi. Fira udah tidur kok."
"Saya khawatir sama Non Fira, Pak. Saya bingung kenapa Non Fira bisa tiba-tiba nangis begitu. Hati saya hancur pak, tiap kali saya dengar Non panggil-panggil mamanya. Dia bilang mau ketemu mamanya, tapi sama bapak nggak boleh," jelas Bi Sarti dengan wajah lesu.
Aku terdiam mendengar penuturan Bi Sarti. Selama ini Fira memang bukan anak yang mudah merengek. Baru kali ini dia menangis setiap malam selama lebih dari seminggu.
Aku melirik Bi Sarti, aku sama hancurnya dengan dia. Mendengar tangisan putriku tiap hari dan tidak bisa melakukan apapun membuatku merasa gagal menjadi orangtua. Aku sudah berjanji untuk menjaga Fira pada istriku. Tapi yang terjadi aku justru membiarkannya menangis seperti ini.
"Bi, saya mau keluar dulu, tolong jaga Fira, ya?"
"Baik, pak."
Malam itu, kukeluarkan ponselku, kuketik rangkaian angka yang sudah kuhapal di luar kepala. Namanya muncul di daftar paling pertama. Aku segera mengirim pesan kepadanya, sembari mengambil kunci mobilku yang kuletakkan di meja tv.
Dhik, lu sibuk?
Wah, tumben nih pak dosen ngechat! Enggak, kenapa Yan?
Ngopi yuk
Lu traktir nggak?
...
Gue tau lu butuh gue buat curhat, sekali-kali traktir lah, boy..
Ketemu gue di cafe biasa
Lah si geblek, yaudah gue otw!
Radhika namanya. Sahabatku sejak zaman SMA. Playboy cap orangutan yang sudah memacari seperdelapan populasi wanita di SMAku dulu, termasuk guru dan karyawan. Entah kenapa aku bisa bersahabat dengan makhluk tidak jelas ini, sampai sekarang aku masih mempertanyakan selera pertemananku.
"Hei, boy..." Sapa suara menyebalkan itu tak lama setelah pesananku sampai.
"Berhenti panggil gue 'boy'."
"Ya maaf." Ia duduk dengan santai di kursi kosong. "Jadi ada masalah apa?".
Aku meneguk kopi pahit di hadapanku. Rasa pahit itu seketika membuatku tersadar akan realita. "Gue bingung, Dhik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Single Father and Me
Novela JuvenilAfian Rendrata, dosen muda di kampusku. Usia 29 tahun, ganteng (katanya), dan single. Iya...single father. Aku Ninda, 18 tahun, jurusan desain interior. Sering dipanggil 'bocah' karena di umurku yang segini tinggiku hanya 155 cm! Mungkin aku kek...