Part 3

2.6K 137 6
                                    

Part 3

Setelah mandi dan sarapan, aku kembali ke kamar untuk mengerjakan sholat Dluha. Sedangkan, Maya sudah pergi ke sekolahnya untuk mengurus beberapa berkas sejak pukul tujuh tadi. Sementara Mas Danish, dia selalu pergi pagi-pagi dan pulang menjelang Magrib. Mungkin, dia tidak ingin bertemu gadis kucel yang sekarang menjadi istrinya ini.

Selesai sholat, aku menumpahkan air mata di atas sajadah sambil mengingat almarhum Bapak. Selama ini, Bapak selalu menyembunyikan sakitnya dan tak pernah mengabariku di pondok. Tiga hari sebelum Bapak meninggal, Ayah hanya menelepon melalui pengurus, menyuruhku untuk segera menuju ke rumahnya. Ayah bilang, Bapak kangen.

Aku ditemani Pak Lek yang juga tak mengatakan apa-apa. Namun, sepanjang perjalanan, aku tahu ada yang disembunyikan. Terlihat dari wajah Pak Lek yang terlihat sendu. 

'Astaghfirulloh. Aku bahkan belum izin ke pak kyai untuk mukim.'

Ingatanku tentang Bapak terputus. Ya, ampun. Pikiranku benar-benar kacau sampai-sampai tak ingat belum berpamitan ke pondok.

"Faaa, Atifaaa!!"

Suara Ibu terdengar sedikit berteriak, memanggil dari lantai bawah. Aku bergegas melepas mukena dan segera turun menghampiri Ibu, usai menghapus tangis yang tadi masih menetes. Entah kenapa setiap kali Ibu memanggil, hati ini selalu berdegup sangat kencang. Bahkan, tubuhku terasa panas dingin. Ada rasa takut Ibu akan menyiksa seperti di sinetron.

Ya, benar. Aku memang jadi korban sinetron yang pemain utamanya memiliki kesabaran di atas rata-rata. Sepertinya, kali ini, kisah hidupku juga tak berbeda dari mereka.

Sembari menuruni anak tangga, aku melihat Ibu tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Ibu mengenakan blus kasual warna abu yang dipadukan dengan celana panjang putih. Rambut lurus sepanjang bahu yang dibiarkan tergerai, membuatnya semakin terlihat cantik. Aku yakin jika laki-laki normal melihatnya pasti akan terpana.

"Ada apa, Bu?"

Aku berdiri di depan Ibu sambil menunduk. Tanganku terasa sangat dingin. Sungguh, aku benar-benar takut.

"Apa ponselmu belum aktif?!" tanya Ibu tegas.

Oh, ya Alloh. Aku lupa meminta Maya untuk mengajari mengaktifkan ponsel dan Whatsapp. Aku tidak bisa mengaktifkannya sendiri karena itu ponsel pertama yang kumiliki.

Dulu, teman SMA memang ada yang sering membawa ponsel pintar ke sekolah. Tapi jangankan meminjam. Ingin melihatnya saja aku sungkan. Sedangkan, di pondok tidak boleh membawa alat komunikasi.

"Belum katanya, Nyah. Padahal aku sudah nawari buat ngajarin tadi."

Belum sempat aku menjawab, Mbak Rumi, asisten rumah tangga Ibu yang umurnya sepuluh tahun lebih tua dariku, sudah lebih dulu memberikan jawaban. Aku hanya bergeming. Sebelumnya, dia memang menawarkan diri buat mengajariku menggunakan ponsel, tapi aku menolak karena ingin menunggu Maya.

"Rum, yang menantuku itu Atifa apa kamu?"

Ibu membulatkan matanya dan menatap Mbak Rumi, tajam. Melihat Ibu demikian, Mbak Rumi lantas berlalu meninggalkan kami.

"Sudahlah, lupakan tentang ponsel. Sekarang, ikut aku ke rumah Oma!" seru Ibu.

Ibu masih menggunakan kata 'aku' untuk menyebut dirinya saat berbicara. Mungkin, ini memang kebiasaan Ibu. Atau mungkin juga karena Ibu belum bisa menerimaku sebagai menantunya.

"I-iya, Bu." Aku tergagap. Sekian detik masih berdiri dengan menunduk. Menunggu perintah dari Ibu selanjutnya.

"Terus kenapa masih di sini?"

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang