kerupuk rasa sate

365 33 3
                                    

"Mas, krupuk, Mas?"

"Nggak, maaf," jawabku pada pedagang, yang lalu lalang di lampu merah.

Lampu merah lama berubah hijau. Pandanganku mengarah pada pedagang kerupuk tadi. Berkali-kali menawarkan kerupuk, tapi tidak ada yang minat.

Tiba-tiba dada terasa sesak. Bagaimana tidak, penjual kerupuk itu ternyata pria tua, kakek-kakek.

Tin! Tin!

Aku tersadar, lampu sudah berwarna hijau. Segera kulajukan motor sedikit maju ke depan, lalu berhenti. Kakek penjual kerupuk sudah berada di seberang jalan. Duduk sambil memandangi dagangannya yang masih banyak.

"Kek, kerupuknya berapaan?" Kuhampiri pedagang tadi.

"Sepuluh ribu dapat tiga," ucapnya sedikit serak.

"Kakek, haus?"

Dia hanya tersenyum, menyembunyikan.

"Sebentar ya, Kek." Aku berlalu menuju sebuah warung, membeli air kemasan botol. Lalu kembali ke kakek tadi.

"Ini, Kek. Diminum."

"Terima kasih," sambutnya, sambil meraih botol air, dan meminumnya.

"Kakek, gak bawa air?"

"Bawa, tapi abis."

"Emang kerupuknya belum ada yang laku?"

Kakek menggeleng. Kembali menatap dagangannya.

"Kakek pulang jam berapa, kalau dagang?"

"Ya, kalau laku," jawabnya. Kemudian ia bercerita panjang. Pulang jika sudah ada uang, untuk membeli beras.

Melihat wajahnya yang tampak lelah, aku yang tidak terlalu suka kerupuk akhirnya membelinya. "Kek, saya beli kerupuknya limabelas bungkus, ya."

Mata tua itu langsung berbinar, mendadak tangan lelahnya bertenaga. Dengan cekatan membungkus kerupuknya. "Alhamdulillah!"

"Kek, udah mau mahgrib. Kakek mau saya anter pulang?"

"Gak, usah. Mas, pasti istrinya juga lagi nungguin Mas pulang."

Istri di rumah memang menantiku pulang, tapi kupastikan tidak dalam keadaan lapar. Tidak seperti yang menunggu kakek di depanku ini.

Akhirnya aku antar kakek sampai rumah. Kawasan padat penduduk, sedikit kumuh. Muncul seorang anak kecil, disusul perempuan tua di belakang. Menyambut pria tua yang kuantar.

"Kakek!" Anak kecil itu langsung menyalaminya.

"Kek, ini?" tanyaku heran.

"Cucuku. Bapak-ibunya udah meninggal, kecelakaan."

Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Mungkin kakek juga mau istirahat. Setelah sedikit berbincang aku pun pulang.

***

Di rumah istriku tampak memajukan bibirnya. Melihat banyaknya kerupuk yang kubeli. "Suruh beli sate, malah beli kerupuk!"

"Maaf, Dek. Mas gak sengaja, tapi Mas juga kasian sama penjual kerupuk. Gak akan pulang kalau kerupuknya belum laku.

"Dan, kamu tau gak, Dek. Kakek penjual itu kalau krupuknya laku, langsung pulang beli beras buat makan."

Istriku diam, dan berlalu ke belakang. Ya Allah, maafin hamba, telah membuat istriku kecewa.

"Ya udah kalau gitu, kita makan pakai kerupuk aja." Perempuanku menghampiri meja makan, sambil meletakan mangkok berisi kecap dan potongan cabai dan bawang.

"Kamu gak marah, Dek?"

"Gak, Mas. Di rumah ada nasi, lauk kita bisa cari. Kalau penjual tadi jual kerupuk buat beli beras, dan harus dimasak biar jadi nasi. Gak apa-apa, deh. Makan satenya kapan-kapan aja."

"Alhamdulillah, aku janji, Dek. Besok kalau ngojeknya dapet banyak. Mas beliin sate, dua bungkus sekalian."

"Hem, enak juga kerupuknya."

"Kaya apa, Dek?"

"Sate, hahaha."

____________________

Sekecil apa pun, kalau kita syukuri akan menjadi besar nikmatnya.

Bekasi 211019

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang