Sebuah kata tanpa suara

81 12 6
                                    

Selamat membaca😊

Tinggalkan jejak ya💙

....


Hari ini rasanya aku tidak ingin pergi ke sekolah, malas untuk bertemu dengan Raka. Semalam Raka terus menghubungiku, sebagian dalam diriku merasa muak dengan sikap Raka kemarin namun sebagian besar rasa takut dan cemas.

Aku takut jika memang benar Raka selingkuh, meninggalkanku dan memilih perempuan itu. Namun setelah di pikir aku akan mendengarkan penjelasan Raka terlebih dahulu. Aku harus siap dengan apa yang akan terjadi.

Koridor sekolah masih sangat sepi, aku sengaja datang lebih awal. Aku tidak ingin bertemu Raka di pagi hari, namun sepertinya semesta tak mengijinkan. Di depan sana Raka melambaikan tangannya. Tumben sekali dia datang sangat pagi.

Raka berlari menghampiriku, tersenyum seperti tak pernah terjadi apa-apa. Andai semua tak terjadi mungkin saat ini aku sangat bahagia melihat ia berlari dan tersenyum menghampiriku. Persis saat kami masih menjadi teman saat SMP.

"Selamat pagi pacar" sapaan itu, mungkin dulu aku sangat menyukainya selalu membuat pipiku memerah. Namun kini rasanya berbeda, biasa saja.

Aku tak menjawab sapaannya, berjalan menuju taman sekolah. Raka masih mengikutiku. Kami duduk di kursi bercat putih tepat di bawah pohon yang rindang.

"Ada yang mau kamu jelasin ke aku?" Tanyaku tanpa basa-basi. Raka terdiam menghela napas sejenak. Jujur aku sedikit cemas dengan apa yang akan di katakan Raka. Namun Raka tetap bungkam.

Aku tersenyum miris, tak menyangka Raka bisa melakukan hal kejam seperti ini padaku. "Jadi kamu selingkuh sama Rania?"

"Ng- nggak gitu Zi aku nggak pacaran sama dia"

"Lalu seperti apa Ka?"

"Aku suka dia, tapi aku cinta sama kamu Zi" Aku berdecih mendengar pengakuan Raka, tak di sangka laki-laki yang ku banggakan tega mengkhianatiku.

Aku berdiri menghela napas mengontrol emosiku, Raka menatapku aku tersenyum.
"Terimakasih untuk 2 tahun ini Raka, semoga kamu bahagia sama dia"

Aku berjalan meninggalkannya, memori empat tahun lalu berputar di kepalaku bagai kaset yang rusak. Dadaku sesak seperti terhimpit ribuan batu besar.

Air mataku tak bisa di bendung lagi, aku menangis terisak. Untung saja lorong masih kosong , aku berjalan menuju ruang kelas. Sayup sayup aku mendengar seseorang melantunkan ayat suci al-quran. Semakin dekat aku dengan ruang kelas semakin deket suara itu. Aku mengusap air mata lalu membuka pintu kelas, di kursi pojok Rayhan cowo alim itu menyudahi bacaannya.

Aku berjalan menuju kursi Rayhan, cowo itu nampak bingung namun terlihat tetap santai. "Ada apa?" Tanyanya.

"Tukeran tempat duduk dulu ya?" Suaraku sedikit parau menahan tangis.

Rayhan menatapku sejenak, tangisku hampir tumpah. Namun sebelum itu terjadi ia berdiri dan membawa tasnya menuju tempat dudukku. Aku duduk dan menangkupkan wajah. Air mataku kembali jatuh hingga suara isak tangis memenuhi ruang kelas yang sepi. Rasanya sesak, sangat menyakitkan.

"Saya tunggu di luar" Suara Rayhan terdengar, mungkin ia terganggu oleh tangisku. Hingga beberapa menit kemudian tangisku mereda. Rayhan kembali masuk ke dalam kelas, menghampiriku.

"Minum" ia menyodorkan sebotol air mineral. Aku menatapnya ragu lalu mengambilnya. "Makasih"

Tidak ada jawaban, Rayhan kembali ke tempatnya. Tak lama beberapa siswa mulai berdatangan memasuki ruang kelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang