Langkah terayun menyongsong fajar Ombak bergulung menabur karang Jerit anak gembala terngiang Membelah pagi nan gersang
...“Sialan! Jelek...!” makian keras terdengar di antara bait-bait syair yang mengalun dari mulut seorang pemuda di atas sebongkah batu hitam di pinggir jalan.
Pemuda berkulit agak kehitaman dengan wajah penuh goresan luka menghentikan alunan bait-bait syairnya. Kepalanya menoleh dan memandang seorang laki-laki tua yang berdiri tidak jauh darinya. Beberapa orang yang berlalu-lalang di jalan itu tidak menggubris sama sekali.
“Tidak adakah pekerjaan lain, Kumbara?” nada suara laki-laki tua itu terdengar ketus.
“Aku seorang penyair, Ki Ampar. Hanya itu satu-satunya pekerjaanku,” sahut pemuda itu lembut.
“Desa ini bukan tempatnya penyair! Semua orang bekerja keras untuk hidup. Apa syair-syair bututmu bisa memberi makan, memberi sandang, dan segala macam keperluan hidupmu?! Kau harus bekerja, Kumbara. Lihat sekelilingmu! Lihat semua orang yang ada di sekitarmu!” agak keras suara Ki Ampar.
Pemuda berkulit hitam yang kini dinasehati itu diam saja. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya. Sebentar ditatapnya Ki Ampar agak tajam, lalu melangkah pergi tanpa berkata-kata lagi.Gending pengantin bertalu merdu Wajah-wajah ceria menyambut Adakah hati semanis madu...? Menyapa embun nan lembut
...“Dasar penyair edan!” rutuk Ki Ampar bersungut-sungut.
Sementara pemuda yang bernama Kumbara itu terus melangkah sambil mengalunkan bait-bait syairnya. Beberapa orang desa yang kebetulan berpapasan, langsung mencibir. Anak-anak bertelanjang dada, berlarian, merubung, dan menyorakinya. Tapi Kumbara kelihatan acuh saja, bahkan semakin bersemangat melantunkan bait-bait syairnya.
Orang-orang tua menarik anak mereka yang merubungi Kumbara. Sedangkan pemuda itu hanya memandanginya saja dengan sinar mata sayu. Hanya sekejap saja keceriaan terpancar di wajahnya, kemudian berganti dengan kemurungan yang menyaput wajahnya kembali.
“Kalau membaca syair, sana di gunung! Biar monyet-monyet terhibur!” bentak seorang perempuan tua yang kainnya kedodoran.
“Mending kalau bagus! Suaranya saja persis burung gagak!” sambung seorang perempuan lainnya mencibir.
Kumbara memandangi orang-orang yang mencibir mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Sinar matanya redup dan sayu. Bibirnya terkatup rapat. Dengan lesu, dia berbalik dan melangkah pergi. Caci-maki dan segala macam rutukan terdengar di sekitarnya. Pemuda itu terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk.
“Minggir...! Minggir...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara-suara keras berteriak, disertai suara derap langkah kaki kuda. Kumbara menghentikan langkahnya, dan kembali membalikkan tubuhnya. Pada saat itu, empat orang penunggang kuda menerobos kerumunan orang desa yang tengah mencaci-maki Kumbara. Orang-orang desa itu segera menyingkir memberi jalan.
Kumbara memandangi empat orang penunggang kuda itu. Sinar matanya terlihat sayu, namun memancarkan sesuatu yang sukar untuk dikatakan. Seorang penunggang kuda melompat turun. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Langkahnya tegap menghampiri Kumbara.
“Sudah berapa kali aku bilang, jangan kembali lagi ke sini!” bentak orang berwajah kasar dengan tubuh tegap berotot itu.
“Desa ini tempatku dilahirkan. Mengapa aku tidak boleh hidup di sini? Aku tidak pernah menyakiti orang lain,” sahut Kumbara.
“Sudah, jangan banyak omong! Ayo cepat pergi, sebelum kurusak mukamu!” bentak orang berwajah kasar itu.
“Sekalipun kalian bunuh, aku tidak akan pergi dari desa ini!” dengus Kumbara tegas.
Belum lagi hilang kata-kata Kumbara dari pendengaran, orang berwajah kasar itu melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya. Cambuk berwarna hitam pekat dengan ujungnya berbentuk ekor kuda itu langsung dihentakkan dengan kuat.
Ctar!
“Akh!” Kumbara memekik menahan sakit.
Cambuk itu mendarat tepat di wajah Kumbara. Darah langsung merembes keluar dari kulit wajah yang sobek. Tapi Kumbara tetap berdiri tegak dengan sorot mata yang tajam. Laki-laki bertubuh kekar dan memegang cambuk itu kembali mengangkat senjata itu tinggi-tinggi ke udara.
“Tunggu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Laki-laki bertubuh tegap itu menghentikan ayunan cambuknya. Dia menoleh ke belakang dan langsung membalikkan tubuhnya, kemudian membungkuk di hadapan seorang pemuda yang usianya mungkin sebayadengan Kumbara.
Pemuda itu duduk di atas punggung kuda putih, diapit dua orang berbadan tinggi besar dan berotot. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya demikian tajam. Bibirnya tipis, dan selalu menyunggingkan senyuman. Sikapnya terlihat angkuh, apalagi saat memamerkan ilmu meringankan tubuhnya ketika melompat turun dari kudanya. Ringan sekali gerakannya, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya mendarat tepat di depan Kumbara.
“Sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu, kalau kau sedikit lunak,” kata pemuda itu. Suaranya terdengar lembut, namun mengandung arti yang sangat dalam.
Kumbara tidak menyahut. Namun pandangan matanya sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di depannya. Dia tahu kalau pemuda itu sangat berpengaruh dan berkuasa di desa ini. Bahkan kekuasaannya melebihi kepala desa. Meskipun masih muda, dia seorang saudagar yang amat kaya dan sangat berpengaruh. Hampir seluruh tanah di desa ini miliknya. Semua orang di Desa Komering Ilir ini menyebutnya Raden Glagah. Padahal, pemuda itu bukan keturunan bangsawan!
“Pergilah, sebelum orang-orangku habis kesabarannya,” sambung Raden Glagah.
“Kau memang sangat berkuasa di sini. Baik...! Aku pergi, tapi akan kembali membuat perhitungan pada kalian semua!” sahut Kumbara tegas.
Laki-laki yang memegang cambuk langsung mengangkat senjatanya dan siap menghantam Kumbara. Tapi Raden Glagah cepat-cepat merentangkan tangannya untuk mencegah. Kumbara hanya menatap tajam, kemudian berbalik, dan langsung melangkah pergi.
“Huh! Anak itu sudah berani kurang ajar, Raden!” dengus laki-laki berwajah kasar itu seraya menurunkan cambuknya, lalu membelitkannya kembali di pinggang.
“Biarkan saja dia pergi,” kata Raden Glagah kalem.
“Tapi dia sudah berani mengancam.”
“Dia cuma penyair miskin, tidak punya kekuatan apa-apa. Sudahlah, Naraka! Sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan. Waktu kita sudah terhambat hanya untuk mengurusi orang gila saja.”
Raden Glagah berbalik dan melompat naik ke punggung kudanya. Naraka mengikuti. Empat ekor kuda pun kembali berpacu cepat membelah jalan Desa Komering Ilir, menuju arah selatan. Penduduk desa yang menyaksikan semua kejadian itu, menarik napas lega. Mereka memang sudah tidak suka lagi terhadap Kumbara. Mereka berharap agar penyair gila itu benar-benar meninggalkan desa dan tidak kembali lagi.
Di antara penduduk Desa Komering Ilir itu, terlihat Ki Ampar. Laki-laki tua yang menjabat kepala desa itu hanya diam. Matanya memandang lurus ke punggung Kumbara yang melangkah gontai meninggalkan desa kelahirannya.
“Kumbara.... Kalau saja kau ikuti semua kata-kataku, pasti nasibmu tidak semalang ini...,” desah Ki Ampar dalam hati. “Malang benar nasibmu, Kumbara....”
KAMU SEDANG MEMBACA
20. Pendekar Rajawali Sakti : Penyair Maut
БоевикSerial ke 20. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.