Yamanaka Ino mengerling. Menatap pada sekumpulan geng sosialitanya yang merangkap bertambah banyak. Terutama, saat mereka bergabung dengan orang-orang kaya lama, dan menjadi bagian dari mereka, pundi-pundi uang bertambah.
"Ino, hanya kau yang belum menikah. Kapan kau dan Sasuke akan melangsungkan pernikahan?"
Ino mendengus. Menyibakkan rambut pirangnya ke belakang dan mengangkat alis. "Secepatnya? Biarkan menjadi kejutan."
"Uwww! Kau ini, benar-benar. Kau dan Sasuke sudah sebentar lagi, masih saja ditunda."
Ino memutar mata malas. "Masih ada benalu di kehidupan kami berdua. Jadi, kalian hanya perlu menunggu kabar baiknya saja."
"Ah, benalu. Memang, di zaman sekarang banyak sekali yang tertarik dengan kehidupan kita yang mentereng. Banyak manusia-manusia yang iri satu sama lain dengan kehidupan orang lain. Karena apa? Karena dia miskin, tidak punya apa-apa? Ayolah. Tampang juga segalanya."
Ino menyesap minumannya. Tidak perlu cemas kalau dia membayar atau membayari semua orang yang duduk di lingkaran meja ini. Dia mampu. Tinggal menggesek kartu kredit, semua masalah teratasi.
Dia akan berterima kasih pada Uchiha Sasuke karena memberikan segalanya tanpa batas. Cuma-cuma. Semua fasilitas yang pria itu miliki, juga ia pegang. Dia bisa leluasa memakai kapan pun ia mau.
Bahkan, Sasuke membelikan satu unit apartemen, memberikan satu kamar presiden suite di salah satu hotel milik keluarga, dan jelas itu semua untuknya. Mobil, hanya untuk koleksi. Tidak perlu menikah pun, Sasuke sudah memberikan segalanya.
Jadi, untuk apa pernikahan? Selama tanpa ikatan pun dia bisa mengeruk segalanya?
Ino mendengus. Kurva melengkung di bibirnya berbuah manis. Saat dia menatap beberapa orang yang masih sibuk menjilat satu sama lain demi reputasi dan harga diri. Mereka semua sama. Sama seperti dirinya. Beberapa perempuan sosialita yang memang mengikrarkan diri sebagai perempuan mahal tak lain, juga penjilat yang membuat mereka harus membayar mahal apa yang mereka inginkan.
Pada dasarnya, roda itu berputar. Dan Yamanaka Ino berharap, untuk sekali saja roda itu tidak pernah berputar dan segalanya mati. Menetap pada satu titik sampai dia mati.
***
"Sakura?"
Sakura menghela napas. Menatap Ayame yang langsung berlari menghampirinya dari kubikel, menatapnya cemas. Sakura tersenyum, menggeleng samar saat dia menurunkan berkas itu ke samping tubuhnya.
"Aku tidak apa."
Ayame menggeleng. Dia membawa Sakura untuk duduk di kursi, menyandarkan dirinya setelah Ayame dengan baik hati menuangkan minum di dalam gelas. "Ini, air putihmu habis. Aku ambilkan milikku."
Sakura tersenyum. "Terima kasih."
Ayame mengangguk. Meneliti wajah Sakura dari dekat, terlihat kalau rekan kerjanya tampak kacau. Sakura pucat, seperti tidak makan dengan baik beberapa hari ini. Ayame mendadak cemas.
"Tidak ada apa pun yang Tuan Yagura katakan, kan? Di dalam, apa dia membentakmu?"
"Suasana hatinya sedang buruk," Sakura mendesah. Mengusap pelipisnya yang berdenyut. "Dia sebelumnya juga begini. Kasihan, supervisor yang terkena semprot."
Ayame mendesis. Mengepalkan tangan di atas pangkuan. "Kenapa tidak dipecat saja pria modelan seperti dia? Apa karena koneksi? Sialan! Benar-benar perusahaan ini. Membuatku muak saja."
Sakura menghela napas. Saat dia menatap berkas itu di atas meja. Dan menelan ludahnya kasar. Setelah berpikir panjang, dan setelah Tuan Yagura memintanya untuk mundur atau dia akan sia-sia saja bekerja di sini. Sakura sudah bertanya alasan, dan banyak pikiran berkecamuk yang berakhir karena Uchiha Sasuke.