|•|

87 8 8
                                    




------------------

Aku membuka kelopak mataku yang terasa berat. Mengerjapkannya sesaat kemudian bangun dari posisi telungkupku. Masih setengah mengantuk, kupandang seluruh penjuru kelas yang hanya tersisa bangku dan meja-meja yang kosong.

Kalian benar, aku tertidur di kelas. Aku saja lupa kapan aku mulai memejamkan mata hingga keblablasan seperti ini.

Aku meregangkan badanku yang terasa remuk karena posisi tidurku tadi. Seluruh tubuhku rasanya pegal sekali. Berapa lama sih aku tertidur?

Karena hari ini Alara, sahabat baikku tidak masuk, jadi tidak ada yang membangunkanku di saat-saat seperti ini.

Ini sebabnya ketika kamu sudah memasuki sekolah, jangan hanya mempunyai satu teman dekat saja.

Kamu akan bernasib sepertiku. Tidak ada yang bisa kamu andalkan dan kamu ajak ke kantin bersama.

Aku beringsut lalu segera membereskan buku-bukuku yang masih berserakan di atas meja. Kumasukkan semuanya dengan asal ke dalam tas lalu menutupnya.

Aku menatap jam kelas yang menunjukan bahwa aku harus segera pulang sekarang sebelum Mama mengoceh. Kurogoh kantongku untuk mencari keberadaan ponselku kemudian mencoba menyalakannya. Tidak mau menyala, bagus sekali Aira.

Baterai ponselku habis. Padahal seingatku baterainya masih tersisa tiga persen.

Ah, sudahlah.

Sepertinya keberuntungan sedang tidak berada di pihakku.

Langit mulai menggelap. Rintik samar hujan menyambutku ketika aku keluar dari gerbang sekolah. Hanya beberapa siswa yang terlihat berlalu lalang. Biasanya siswa yang menetap agak lama di sekolahku adalah pengurus Osis atau anggota ekskul paskibra.

Sebenarnya beberapa dari mereka ingin kumintai tolong tapi aku agak ragu melakukannya. Kemampuan sosialku amat buruk, aku bisa saja mempermalukan diriku nanti.

Jadi, tidak jadi kulakukan.

Kuputuskan melangkah menuju pos satpam untuk meminjam payung karena menurut perkiraanku hujan akan semakin deras.

Saat ini, aku sudah berdiri di dekat bangku taman yang berada tak jauh dari sekolah. Biasanya Mama akan menjemputku di sini kalau aku menghubunginya.

Tapi karena ponselku mati, tidak akan ada yang datang untuk menjemputku.

Aku berdecak, melirik lagi ponselku. Berharap baterainya terisi sendiri. Kalau sudah begini, aku hanya mengharapkan keajaiban. Pasalnya, rumahku terletak agak jauh dari sekolah. Kalau tidak memesan taksi online, aku harus menelpon orangtuaku untuk menjemput.

Selagi aku mengumpati hari sial yang terjadi padaku saat ini, netraku menangkap seorang laki-laki yang aku taksir usianya sepantaran denganku tengah duduk di bangku taman, tampak seragam yang berbeda denganku melekat dengan tubuhnya.

Sebulan ini, di musim hujan, aku hampir setiap hari melihatnya duduk di sana. Duduk termenung atau kadang, menatap lurus ke arah jalanan.

Aku pernah sekali tertangkap basah saat sedang mengamatinya. Saat bola mata kami menubruk satu sama lain, aku bisa merasakan kesepian amat sangat dari sorotnya. Bola mata jernihnya seperti tidak ada kehidupan, hanya ekspresi dingin yang membuatku ragu apa benar dia manusia.

Kalau kuperhatikan baik-baik, laki-laki ini sangat tampan walaupun wajahnya pucat.

Aku memang sangat peka untuk hal-hal tidak penting seperti ini.

Tiba-tiba, aku kembali ingat tujuanku sekarang.

Ah, pulang!

Aku menggelengkan kepalaku, mengusir pikiranku mengenai laki-laki tadi dan segera memikirkan masalahku saat ini.

'till The Rain StopsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang