Lily. Lirik pada lagu itu berhasil mengusik pikiranku sejak semalam mendengarnya diputar di kafe saat aku mencoba untuk kembali meminum kopi, minuman yang telah lama kutinggalkan. Lagu yang seolah mewakili jeritan hatiku.
Aku ingin lepas! Aku ingin bebas!
Tapi bagaimana? Aku sudah terjerumus terlalu dalam. Kalaupun aku bertaubat, aku tak yakin akan ada yang mau mengampuniku.
"Chery."
Aku menoleh ke samping. Jasmin melambaikan tangan yang memegang kresek, menyeberangi zebra cross dengan senyum lebar. Aku bisa menebak isi kresek itu, karena liurku membanjiri rongga mulut saat tiupan angin membawa aromanya hingga menyapa hidungku.
Aku cinta darah, darah yang lebih merah dan lebih kental dari jus ceri.
"Giliran siapa sekarang?" tanyanya dengan kepala miring ke sisi kanan dan senyuman manja, khas gaya anak remaja.
"Choco," jawabku ikut tersenyum.
Dia mengangguk antusias, sebelah tangannya yang bebas menggamit lenganku. Kita berjalan dengan langkah riang menelusuri labirin tembok perumahan Moro. Kami terus berbelok tanpa kendala, menuju pintu abu-abu di bagian paling ujung selatan buntu labirin tembok itu. Dia memutar kunci, lalu mendorongnya hingga terbuka. Kami masuk dan kembali menguncinya.
Suara jeritan dan pekikan tajam menyambut kami. Dia tersenyum singkat sebelum berlari menaiki anak tangga.
Jeritan terdengar makin kencang, aku segera menyusulnya ke atas. Perlahan mendekati kerumunan wanita berparas cantik itu.
Tangan mereka melambai, menimbulkan sebuah kekuatan yang mampu menarikku. Gigi mereka menancap, terbenam di kulit lengan, leher, perut, paha dan betis Choco yang masih meronta dan mengeluarkan jeritan putus asa.
Jasmin meringis, sudut bibirnya meneteskan darah kental Choco. Aku segera mendekat, mengambil posisi di samping Jasmin, memegangi pipi Choco, dan ikut membenamkan gigiku ke dalamnya. Menghisapnya hingga kering.
Oh, minuman dari surga, yang mampu melenyapkan dahaga seketika.
Jeritan Choco melemah, digantikan dengan erangan.
Sonya melepas gigitannya di paha Choco, meninggalkan sederet lubang hampir berbentuk elips. Dia meraih kresek yang dibawa Jasmin dari atas meja rias, mengeluarkan sekantung darah yang masih tersegel. Menggunakan giginya yang tajam, dia merobek bagian ujung, lalu mendekat ke arah kami.
Kami melepaskan gigitan, menyeka darah dari mulut, lalu mundur. Membiarkan Sonya mengguyurkan darah itu ke sekujur tubuh Choco. Menyaksikan regenerasi ajaib yang selalu membuatku terpukau. Kulit Choco yang keriput, bolong, dan kering, kini mengencang dan kembali halus.
Wajahnya kembali membentuk sempurna. Bibirnya yang keriput dan biru, kini kembali penuh, memerah semerah ceri.
Ah, andai aku masih laki-laki, pasti aku akan sangat bernafsu melihat kelahiran kembali Choco.
Choco membuka mata. Dia tersenyum, menyeka dan menjilat sisa darah di tubuhnya.
"Terima kasih," ucapnya sambil berjalan perlahan mendekati cermin meja rias. Dia terkesiap melihat penampilan barunya di cermin itu. Tangannya yang bergetar, perlahan menyentuh pipinya yang sehalus sutra.
"Ini kelahiranku yang kesepuluh, semenjak bertemu kalian," ucapnya sambil tersenyum dan meraba kulit di tubuhnya. "Dulu, aku laki-laki yang menyedihkan, sekarang ... dengan tubuh ini, aku bisa mencampakkan siapa pun."
Kami ikut tersenyum. Kelahiran kembali adalah hal yang patut disyukuri. Namun, benakku masih dilanda kecemasan.
Lebih dari tiga ratus tahun, kami hidup. Lalu, kapan ini akan berakhir?
--Tamat--
485 kata.