Tangis

9.2K 524 50
                                    

Perlahan Sintia merasakan tangan Aditia mengelus perutnya,  namun kesadaran tak dapat ia capai. Terdengar lirih suara " anak kembar ayah harus kuat, demi bunda". Sungguh benarkah itu, pikir Sintia. Benarkah itu Aditia suaminya, mungkinkah semua impiannya selama ini sudah tercapai.

Perlahan Sintia merasakan tubuhnya ringan, entah perasaan apa yang melingkupinya. Bahagia, sangat bahagia akhirnya dia mengandung juga. Karena ini adalah titik akhir yang menjadi tujuannya, perlahan airmatanya keluar dari sudut matanya meski masih di alam bawah sadarnya.

"Sintia, kenapa menangis apa yang sakit" terdengar suara aditia.
Tapi kenapa sulit untuk membuka mata padahal Sintia hanya ingin berkata aku bahagia saat ini ada kau suamiku.

"maafkan abang sintia, ayo bangun demi anak kita" terus saja aditia memanggil.

Sintia kemudian merasakan sesuatu ditarik dari ujung kakinya, kemudian terus naik sampai ujung kepala lalu hilang bersama teriakan aditia

"Sintiaaaaaa"

***
Dokter melakukan pemeriksaan pada denyut nadi Sintia dan alat deteksi jantung.

Dokter keluar ruang menemui Aditia yang menunggu di depan ruangan.

" Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi kondisi ibu Sintia yang sudah drop sehingga beliau tidak bisa diselamatkan" jelas dokter

Seketika tangis aditia pecah sejadi - jadinya dan berlari memasuki ruangan Sintia yang sudah terbujur kaku. Beberapa perawat masih disana sedang melepas peralatan medis dari tubuh Sintia yang sudah tak bernyawa.

Aditia yang histeris tidak peduli keberadaan perawat, ia terus saja menangis meratapi nasibnya.

Perasaan menyesal semakin memenuhi pikirannya.

***

Pagi pertama dalam hidupnya selama pernikahannya dengan Sintia, Aditia terus saja menangis.

Di pemakaman ini Aditia dituntun keluarga serta tetangganya untuk kembali pulang. Namun Aditia masih ingin menemani sang istri. Keluargapun membiarkan Aditia untuk menyendiri.

Dengan hati  kacau, dan rasa bersalah serta penyesalan yang terus menyerang perasaan Aditia, sehingga hanya kata maaf yang selalu diucap berharap sang istri mendengar semua perasaannya. Namun, semua sudah tak berarti jika dulu Sintia selalu mendengar dan menjadi orang yang paling mengerti kini hanya meninggalkan kebisuan.

Masih terisak Aditia, tiba - tiba gerimis seakan ikut menangis menyaksikan kisah hidupnya.

Cinta yang besar dan rindu yang menggebu seakan menggunung tapi tak tahu kemana menumpahkannya, seakan menjadi setimpal apa yang pernah dirasakan Sintia.

Bersama rinai yang mulai membasahi bumi, Aditia melangkah berat menuju mobilnya. Perlahan mobilnya berjalan menuju rumah kediamannya bersama Sintia.

***

Tak terasa empat puluh hari sudah berlalu, Aditia kini memiliki rutinitas baru. Setiap hari Aditia membelikan dua bungkus nasi goreng lalu membawanya pergi ke pemakaman. Disana, tempat pemakaman sintia Aditia selalu bercerita seakan Sang istri mampu mendengarnya.

Semua rindu Aditia tumpahkan, meski tahu berakhir hampa.

"Sintia, bagaimana hidup ini tanpamu? Kenapa kau tak bawa abang bersamamu dengan anak kita? Abang rindu kalian, abang tak tahu hidup ini untuk siapa? Rumah kita sepi tanpa adek. Abang rindu masakan rendang" lirih aditia dengan airmata yang masih berurai.

Sekian lama masih berat untuk aditia. Ia seakan lupa dengan fika istri keduanya.

Semenjak kejadian dirumah sakit Aditia memang meminta Fika untuk tidak hadir di pemakaman bahkan aditia melarang Fika untuk berkunjung kerumahnya bersama sintia. Aditia seperti kehilangan logika, melupakan tanggungjawabnya pada Fika. Bahkan aditia merasa itu adalah hukuman atas kecewa yang ia dapat.

Aditia juga kecewa atas tindakan yang dilakukan Fika pada Sintia tanpa sepengetahuannya. Fika telah menyakiti Sintia dengan membuat rekaman sedang bercinta dengannya lalu mengirimkan video itu pada Sintia, itu yang Aditia temukan pada ponsel milik Sintia. Aditia tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya Sintia menyaksikan itu. Aditia seakan menukar perasaan Sintia untuk mewakili sakit hatinya.

Aditia juga seakan tak habis pikir terlukanya Sintia selama ini, Dia hadapi seorang diri tanpa mengadu atau Aditia yang terlalu abai.

Rasa bersalah selalu muncul, menyiksa Aditia perlahan. Aditia tak pernah menyangka sesakit ini perpisahan yang pernah di inginkannya.

Berhari - hari Aditia habiskan waktunya untuk mendengar cerita tetangganya tentang kebaikan Sintia selama ini, sehingga tetangganya pula yang membantunya dalam beberapa hal.

Aditia semakin merasa bersalah selama dua bulan terakhir Sintia selalu membagikan masakan rendang kesukaannya pada tetangga, begitu cerita tetangganya. Aditia tidak bisa membayangkan kecewa yang dirasakan Sintia setiap hari menantinya dengan masakan rendangnya. Dan terakhir ia melihat sebuah note di lemari kulkas ada rendang untuknya.

Aditia sangat menyesal tak mampu menebus duka Sintia, ia bahkan belum sempat mendapat maaf sintia. Apa yang paling sakit dari duka saat tak sempat mengucap maaf, sehingga menyisakan rasa bersalah yang berkepanjangan.

Nulisnya masih dikit banget ya, tapi segini dulu ya sebagai obat rindu. Bila ada kesempatan segera dilanjut. Minta kritik dan saran ya sebagai booster nulis akunya.

Cinta,Wanita Tak SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang