Mataku menatap was-was. Dinginnya angin malam disertai lengking kesakitan membuatku menggigil. Aku menyumpah serapahi Karenina yang menjebaku di tempat ini, setelah membuatku tak sadarkan diri.
"Argh!"
Tak tahan, aku memberanikan diri mencari sumber suara. Pepohonan tinggi membuatku seperti kurcaci di antara raksasa-raksasa yang hendak menelanku. Aku meringis, luka menganga di lengan terasa sangat menyiksa.
Aku mencengkram ujung jaketku yang penuh darah. Bau anyirnya membuat perutku bergejolak, aku ingin muntah.
Suara binatang buas serta raungan manusia membawaku melangkah cepat.
"Argh!"
Dekat, dekat, semakin dekat.
Dari balik rimbun dedaunan, aku melihat beberapa manusia yang tertawa puas. Di tengah-tengah mereka, seseorang dengan darah di sekujur tubuhnya seperti sedang meregang nyawa.
Mataku terbelalak menyadari siapa sosok menyedihkan tersebut. Seketika tubuhku terkulai lemas.
Suara pisau beradu terdengar memekikan telinga. Satu perempuan yang kukenali mendekat ke arah lelaki itu. Aku ingin berlari, menghalangi benda runcing yang akan mengoyak habis tubuh tak berdayanya.
Jangan! Aku mohon!
Mereka tak mendengar jeritanku. Sial! Di mana suaraku? Kenapa tidak bisa keluar?
Perempuan itu Karenina. Dia menempelkan pisaunya pada tangan hangat yang baru tadi sore menggenggam jemariku erat. Aku menutup mulut dengan air mata tak henti mengalir, melihat bagaimana lihainya Karenina memotong kelingking itu dengan mudah. Dia mengambil benda melingkar dari potongan jari penuh darah tersebut, menciuminya dengan penuh obsesi.
Jeritan kesakitan yang kembali terdengar membuat hatiku terkoyak. Aku hancur bersama tusukan pisau yang berkali-kali mendarat di dadanya. Terakhir sepatu dengan hak tinggi Karenina menginjak keras bahu ringkih di bawahnya.
Karenina berjongkok, mencengkram kuat rahang itu seperti ingin meremukannya. Ia menarik paksa wajah tersebut ke arah persembunyianku.
Mata kami bersinggungan. Dia... lelakiku, menatap dengan segala luka. Bibirnya bergerak kaku dan pelan. Namun, aku tahu dia ingin aku segera pergi. Saat tak sengaja tatapanku mengarah pada Karenina, ia melemparkan seringaian mengerikan.
Belum sempat memahami maksudnya, batu berukuran besar dilemparkan lelaki berambut gimbal di sebelah Karenina.
Trash!
Aku menjerit. Duniaku runtuh beriringan darah yang muncrat dari kepala itu... kepala lelakiku.
Karenina tertawa keras. Jemari lentiknya menghapus cairan merah yang mengenai wajah kuning langsatnya.
"Kali ini giliranmu, sahabatku tersayang."
Suara merdu Karenina membuat bulu romaku berdiri. Wajah ayunya yang selalu membuat orang-orang berdecak kagum, kini tak ayal seperti monster mengerikan.
Aku berlari dengan kaki terseok. Teriakan Karenina yang menyuruh antek-anteknya mengejarkau terdengar menggema.
Bunyi pisau beradu membuat telingaku ngilu. Aku berkali-kali terjatuh saat tak sengaja menabrak batang pohon yang melintang. Peluh, darah segar, dan jurang membuatku semakin putus asa.
"I got you," seringai Karenina membolak-balikan pisau penuh darah di tangannya. Aku tahu, akhirku semakin dekat.
Jiwaku berontak. Bertahan bukan lagi pilihan dan memberikan kemenangan pada perempuan tak waras itu hanya akan membuatnya congkak.
Tiga... Dua...
Aku menghitung mundur beriringan dengan segala kepasrahan yang tersisa. Memberanikan diri, kubalas tatapan nyalangnya. "Aku yang menang Karenina, aku yang menang."
Satu...
Dan lengkingan tak terima Karenina mengiringi tubuhku yang melayang ringan di udara. Semuanya berlangsung cepat. Hantaman keras, cairan kental berwarna merah, sakit yang menyeruak, dan kegelapan. Semua itu mengantarkanku bertemu lagi dengannya.
Kamu tetap kalah Karenina.
-Tamat-
Terima kasih kepada penuliskece2019 yang sudah mengadakan event ini.
[Jumlah cerita 497 Kata]
KAMU SEDANG MEMBACA
Karenina in the Dark
Mystery / ThrillerGoresan pisau dan amis darah bukan pertanda kemenanganmu. Bloody Moon Event @penuliskece2019