Bismillah
***
Malam merayap lamban, seakan memberi kesempatan Anna untuk menikmati kebahagiaan. Barang bawaan yang hampir tiga kali lipat dari waktu berangkat tak membuat dia kesulitan mencarikan tempat. Dua koper baru sudah tersedia, lengkap dengan isi dompet untuk membayar kelebihan bagasinya. Pun dengan senyum yang terlukis di wajah Anna, kuantitasnya meningkat tiga kali lipat dari sebelum-sebelumnya.
"Buat apa coba barang segitu banyak? Apa iya mau kamu bagi-bagi semua? Ckckck. Sebentar lagi kamu jadi istri, tinggal jauh dari keluarga, jangan boros-boros. Lagian kamu belum tau juga gimana papi mamimu nanti pas tau keyakinan kamu sekarang sudah beda dengan mereka. Ya kalo mereka menerima dengan baik-baik saja. Kalo enggak gimana? Kalo mereka cabut semua fasilitas yang selama ini kamu nikmati, gimana? Mulai belajar nabung deh. Oke?"
"Iya, Ibu Mariam yang bawel." Anna menjulurkan lidah meledek Mariam.
"By the way, kok kamu tau sih yang kupikirin. Aku tuh sebenernya kuatir, gimana kalo papi mami nggak terima dengan keislamanku, trus aku nggak diakui sebagai anaknya. Kalo cuma fasilitas dicabut sih insya Allah aku masih bisa bertahan hidup. Tapi kalo nggak diakuin anak, Ya Allah, aku kuat nggak ya?" Raut wajah yang tadinya ceria meredup berganti mendung dan netra menguyup.
"Nggak usah berprasangka terlalu jauh, percayalah, Allah Maha Rahman dan Rahim, pengasih dan penyayang. Dia pula yang berkuasa membolak-balikkan hati. Daripada tersita untuk hal-hal yang belum tentu terjadi, lebih baik manfaatkan waktumu untuk berdoa, memohon segala kebaikan untukmu, juga untuk keluargamu." Nasehat Mariam untuk sahabat yang teramat disayanginya.
"Siap, Komandan. Aku mau telpon Bang Ronald ah, mau curhat tentang kekuatiranku, sekalian ngabarin kalo aku dilamar sama pujaan hati. Apakah ini yang dinamakan rezeki anak solehah?"
"Dih, pede banget yess. Udah ah, aku turun dulu ya, An. Pengen minum panas-panas nih," pamit Mariam. Sebenarnya, bukan kehangatan yang dia cari, dia hanya sedang ingin sendiri.
"Berani sendiri? Ntar kecantol bule gimana?"
"Halah, emang elooo?!" Menyambar satu kartu pembuka pintu, Mariam segera beringsut keluar.
Derap kaki Mariam terdengar di lorong lantai lima yang sepi. Ditekannya panah ke bawah pada sisi pintu lift yang segera terbuka kurang dari empat detik setelahnya.
"Lho, Mbak Mariam mau ke mana? Kok sendirian aja. Mbak Anna mana?" Di dalam lift, Pak Yon dan Bu Yon menyambutnya dengan tanya.
"Eh, ini mau nyari coklat panas. Anna mah sibuk packing, bawaannya seabreg gitu." mereka bertiga tertawa.
"Nah, Bapak Ibu mau kemana ini?" Mariam balik bertanya.
"Mau ke bawah, ada teman lama Bapak yang tinggal di sini dan ngajak ketemuan. Nongkrong bareng kami aja yuk, sambil nunggu," ajak Bu Yon antusias. Ketulusan terpancar di matanya.
"Alhamdulillah, jadi ada temannya saya," ujar Mariam sambil tertawa.
Bertiga berbincang di area restoran dengan tiga cangkir yang kesemuanya menguarkan aroma cokelat.
"Assalamualaikum. Boleh saya bergabung di sini?"
"Astaghfirullah, kenapa juga bule ini pake datang segala. Ujian banget ini sih."
Ahmar datang usai meminta pihak hotel menyediakan breakfast dalam box karena esok pagi mereka akan check out di jam-jam orang Eropa masih hanyut dalam mimpi. Ia hendak mencari sesuatu untuk menghangatkan badan, hingga tak sengaja melihat mereka bertiga dan memutuskan untuk bergabung dalam satu meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Hidayah [SELESAI]
Fiksi UmumUpdate setiap Rabu dan Sabtu . Berawal dari langkah yang salah, perjalanan singkat ke tanah Eropa justru membawa Anna pada hidayah. Selepas hidayah, Allah memberinya pula serangkai hadiah. Seseorang yang datang untuk membimbingnya meniti jalan cahay...