Bab 14: Tarta de Santiago | 1

4.1K 463 15
                                    

Brahma is typing ...

[Shal, gw minta maaf soal tadi. Gw bener-bener lg stres. Sory kalau kata2 gw bikin lo sakit hati.]

Shalu. Online.

Shalu. Last seen at 23.34

Brahma membanting ponselnya dengan masygul ke spring bed berbalut bed cover yang bergambar logo Manchester United. Goblok goblok goblok! Entah sudah berapa kali dia merutuki kebodohannya sendiri. Pesannya lagi-lagi hanya di-read oleh Shalu. Brahma pikir, dengan membuat Shalu membencinya, maka misinya membunuh cinta pada gadis itu akan semakin mudah.

Nyatanya? Brahma justru tersiksa setengah mati saat melihat sorot mata Shalu yang terluka. Ya, karena dirinya. Dan demi apa pun, itu membuat Brahma merasa menjadi seorang pecundang yang idiot. Mungkin memang menyakitkan kehilangan orang yang sudah terlanjur dicintai. Namun, rasanya akan lebih sakit ketika masih bisa bertemu dengan orang tersebut setiap weekend, tapi sadar betul bahwa dia tidak bisa dimiliki.

Itulah yang saat ini sedang dirasakan Brahma. Dia bisa menatap wajah Shalu, menikmati senyum manisnya, tapi di sisi lain juga harus membunuh cinta dan harapan untuk dapat merengkuh gadis itu. Rasanya sesulit mengingat orang yang bahkan belum pernah ditemui. Nyaris mustahil.

Akhirnya satu minggu kemarin Brahma memutuskan sebuah ide yang sangat konyol. Membuat Shalu membencinya. Keputusan yang setelah dia coba, justru membuatnya semakin tersiksa.

Kenapa lo harus ninggalin kesan yang buruk buat Shalu, Brahma? Kenapa lo nggak berusaha berdamai dengan hati lo sendiri, coba nerima kenyataan ini, coba bener-bener jadi best friend-nya Shalu? Toh Tante Mira udah janji kan, cewek itu bakal bahagia dan aman sama Evans. Bukannya cuma itu yang lo mau, supaya Shalu bahagia? Cinta nggak harus memiliki, Brahma.

Lo masih percaya dengan statement murahan itu, Brahma? Lo bener-bener pecundang idiot! Dan selamat, sekarang Shalu bener-bener benci sama lo! Coba lo berani sedikit aja, terus bikin Shalu jatuh cinta, mungkin hasilnya bakal beda! Sampai kapan lo bakal tunduk di bawah ketiak Tante Mira sialan itu?

Sang chef meringkuk di tempat tidurnya bagaikan orang sekarat, menanggung pergolakan batin yang tak kunjung reda.

*

"Tante, kayanya aku nggak bisa ... nggak bisa nerusin kursus masak ini." Tante Mira terperanjat mendengar ucapan calon menantunya. Tadi pagi Shalu menghubungi Tante Mira, minta waktunya sebentar sore ini. Karena penasaran, Tante Mira menunda semua jadwal dan menyuruh Shalu menemuinya di rumah.

"Kenapa, Shalu?" Sergah sang tante gusar.

Karena Brahma.

"Ka-karena aku capek, Tante. Maksudku, masak bukan passion-ku, dan kursus ini bikin aku stres. Mungkin aku bisa coba resep-resep ini di rumah, Tante, nggak harus kursus di sini setiap weekend sama Brahma."

Suara Shalu terdengar lirih saat menyebut nama Brahma. Sebenarnya, hatinya cukup lega saat mendapat pesan dari Brahma semalam. Benar kan, cowok itu cuma lagi banyak pikiran, nggak serius dengan kalimat menyakitkannya tadi.

Mengacuhkan keluhan Shalu, Tante Mira meraih ponsel dari atas meja kayu antiknya. Dia mencari kontak Evans dan segera menghubungi putra satu-satunya itu dengan video call.

"Ya, Mam?" Pemandangan dari lantai dua puluh apartemen Evans langsung terpampang di layar saat dia menjawab panggilan mamanya. Di London sana baru pukul sepuluh pagi, sedang di Indonesia sudah pukul empat sore. Cowok itu tampaknya baru saja bangun tidur.

"Mama lagi sama Shalu di rumah. Dia kayanya butuh dukungan kamu, Vans. Shalu mau berhenti kursus masak." Tante Mira langsung ke pokok pembicaraan, membuat Shalu terperangah. Camernya ini memang selalu bereaksi di luar dugaan.

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang