- Karena ada langit di atas langit -
***
"Mas Arga itu kakak kandung saya."
"Hah??? Tapi kan ... ka-kamu ...."
Ada sendu di wajah Sakya yang meneduhkan. Mata Amara yang sedetik tadi membulat, perlahan melembut saat wajah sayu itu tertunduk. Amara tahu ada sebuah luka tersembunyi di sana.
"Orangtua kami meninggal karena kebakaran waktu kami kecil. Kami yang tadinya serba berkecukupan, tiba-tiba harus menjadi gelandangan, putus sekolah. Saya masih enam tahun waktu itu. Sedangkan Mas Arga sembilan tahun." Wanita itu berusaha keras menghentikan air mata yang tiba-tiba menggenang. Sepertinya masa lalunya memang terlalu pahit untuk dikenang.
"Maaf, memangnya tidak ada saudara orangtua kalian yang mau -"
Sakya menggeleng. "Ibu kami anak tunggal. Sedangkan adik-adik Ayah ... sepertinya mereka tak peduli."
Helaan panjang Amara terdengar oleh Sakya yang berusaha tersenyum di antara sedih yang melingkupnya.
"Dulu kami anak jalanan. Mengais makanan sisa orang-orang. Ngamen, dikejar-kejar preman, jadi pengemis ... sampai pada suatu hari ... Mas Arga dipukuli hingga babak belur oleh seorang preman. Saat itulah Allah menolong kami."
Amara semakin ingin tahu kelanjutan cerita itu. Ia menyimak baik-baik.
"Seorang wanita lewat melihat kejadian itu dan berusaha menolong kami. Kebetulan beliau ternyata pengurus panti asuhan. Setelah itu kami berdua tinggal di sana. Sampai akhirnya, Papa Jo mengadopsi saya. Waktu itu Papa dan Mama sudah lama menikah tapi belum punya anak.
Awalnya saya takut ... apalagi harus pisah sama Mas Arga."Sakya menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas panjang. Tak pernah mudah untuk kembali menceritakan kisahnya di masa lalu.
"Tapi Mas Arga berkali-kali menguatkan saya. Menjanjikan saya bahwa semuanya tetap akan baik-baik saja dan kami tetap akan sering bertemu. Papa juga menjanjikan itu pada kami. Dan Papa selalu menepati janjinya itu sampai sekarang. Setahun kemudian, giliran Mas Arga yang diadopsi oleh Om Hardi. Singkat cerita begitu."
"Lalu ... Yara adik kamu?" Amara memberanikan diri bertanya.
"Yara anak kandung Papa dan Mama. Saat sedang mengurus proses adopsi, Mama tak sadar sedang hamil. Tapi alhamdulillah mereka tetap mengadopsi saya."
"Tapi ... Yara sudah ... menikah?"
"Jodohnya datang di usia 20 tahun. Tiga bulan setelah menikah, suaminya memboyongnya ke Malaysia."
"Ooh ...." Amara kembali terdiam
"Ada lagi yang ingin Mbak Amara tanyakan pada saya?" Sakya menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya.
"Maaf. Saya benar-benar minta maaf. Saya sudah lancang menduga yang bukan-bukan antara kamu dan Arga."
"Nggak apa-apa, Mbak. Wajar Mbak berprasangka seperti itujj. Mbak Amara bukan yang pertama. Saya sendiri mulai terbiasa mengacuhkan pandangan orang yang menghakimi ini-itu."
"Kamu ... sudah biasa?"
Sakya mengangguk dan tetap tersenyum. Sementara Amara, wajahnya tertunduk malu. Ia benar-benar malu. Sakya yang selalu ia sebut sebagai wanita munafik ternyata memang benar berhati malaikat. Sementara Amara yang selalu merasa sok suci, ternyata berhati busuk. Jahat sekali dirinya.
"Sudah malam, Mbak Amara perlu istirahat. Oh ya, kamar mandi ada di sebelah kalau Mbak mau bersih-bersih."
"Sakya ...." Amara mengangkat dagu, memberanikan diri menatap mata teduh itu. "Terima kasih sudah mau menceritakan semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVABILITY (Judul Lama: ADAMANTINE) (REVISI)
عاطفيةDania Amara Rielta yang selalu punya takdir sad-ending dalam hal percintaan, sedang dipepet waktu untuk mencari calon suami. Tidak muluk-muluk pintanya pada Tuhan atas kriteria laki-laki yang akan menjadi jodohnya. Namun siapa sangka Tuhan justru me...