"nak, kamu benar mandul?"
Juna mengangguk. Ia lalu memejamkan mata frustasi.
"Tapi, keluarga kita tidak ada riwayat mandul, Nak. Mungkin Calista yang salah."
"Ibu, dia benar. Dokter sendiri yang mengatakan padaku. Ini semua karena konsumsi alkohol dan rokok yang dulu aku lakukan. Ibu ingatkan, dulu aku kecanduan. Itulah penyebabnya. Bukan salah Calista. Dan tolong, jangan menyalahkan Calista lagi. Dia sudah cukup menderita."
Hening beberapa saat.
"Apakah kalian akan bercerai?"
"Iya, minggu ini sidangnya."
"Apakah ini salah ibu?"
"Tidak bu, ini salahku. Aku lah penyebabnya dan Calista sudah tidak tahan lagi padaku."
"Ibu minta maaf, Nak."
"Sudahlah, bu. Ini sudah terjadi. Tak perlu di sesali."
Dan nyatanya, setelah sidang perceraian Juna bekerja gila-gilaan untuk membiarkan dirinya tetap sibuk dan melupakan masalahnya sejenak.
Handphone nya berkedip-kedip. Ia melirik ada sebuah panggilan. Dari ibunya.
"Halo, bu."
"Kamu dimana?"
"Masih di tempat kerja."
"Ini sudah lewat jam dua belas malam, Jun. Berhenti dulu. Besokkan bisa dilanjutin."
"Tanggung, Bu. Ini sebentar lagi selesai."
"Ya, sudah. Cepat pulang. Jangan ngebut di jalan. Kamu pulang kesini atau ke apartemen?"
"Apartemen. Nanti kapan-kapan aku ke tempat ibu."
"Iya, jaga kesehatan. Jangan sering kerja."
"Hm."
Juna meletakkan handphonenya lalu melirik jam. Jarum pendek sudah menedekati satu. Tengah malam sudah lewat. Kebisingan di luar sana sudah hilang. Berganti senyap dan sepi.
Ia menatap layar komputer. Tugas yang tenggak waktunya lama malah ia kerjakan sekarang. Karena semua tugasnya sudah selesai. Dan sekarang, ia menganggur. Tidak ada tugas lagi. Pikirannya kembali kosong. Ia memejamkan mata penat.
Juan akhirnya pulang ke apartemen. Jam nyaris menunjukkan pukul dua. Dalam kesenyapan dan gelapnya ruangan. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur kingsize. Tanpa melepas kaus kaki atau membersihkan tubuh lebih dulu, rasa lelah sudah menunggunya begitu dominan. Sekeliling terasa hampa ditambah lagi apartemennya masih kosong. Tak ada pajangan baik lukisan maupun foto ataupun barang-barang hias. Bahkan peralatan dapur pun masih minim. Juna seolah menggunakan apartemen ini untuk peristirahatan saja.
Ia menatap atap langit kamarnya. Mengenang kembali memori pasca persidangan. Baru kali ini ia melihat raut lepas Calista. Wanita itu nampak bebas. Wajahnya tidak tampak terbebani seperti yang dulu sering ia lihat. Tidak ada lagi senyum perih. Hanya senyum kecil yang lepas. Mata mereka bahkan sempat bertautan. Tapi, keduanya hanya saling lirik dan diam. Lalu pergi menjemput masa depan masing-masing.
Calista tak banyak meminta. Wanita itu tidak manja lagi seperti dulu. Matanya memancarkan kekuatan dan keberanian yang ia paksakan. Juna menghargainya. Jalan hidup wanita setelah bercerai memang tak mudah. Tidak seperti dirinya laki-laki yang bisa memilih dan terlepas dari gunjingan masyarakat. Dan ia salut, tidak ada setetes air matapun yang ia lihat di pipi Calista. Perempuan itu seakan sudah mempersiapkan semuanya. Calista sudah banyak berubah.
Ia memberikan rumah mereka dan uang sebesar empat ratus lima puluh tiga juta pada Calista. Walau tidak dipinta, Juna memberikan begitu saja. Terserah itu mau Calista apakan. Mau dijual atau disewakan, itu sudah menjadi hak miliknya.
Juna lagi-lagi menarik napas panjang. Kemudian menutup mata dengan sebelah lengannya. Tanpa menghidupkan lampu dan makan. Ia jatuh terlelap tanpa mimpi.
***
Aza menarik ujung baju Yuna. Telunjuk kecilnya menunjuk bola. Matanya menyiratkan pengharapan.
Yuna menatap bola yang masih dalam kemasan terpajang di depan toko. Sebuah masa lalu melintasi benak Yuna. Momen di kelas, dimana ia sedang membaca buku. Saat itu jam istirahat. Juna dan kawan-kawannya bermain bola di dalam kelas. Lalu, seolah di targetkan. Juna menendang bola itu kuat sekali dan menghantam kepala Yuna hingga terdorong ke belakang. Sakit dan pening dirasakan Yuna saat itu. Matanya berkunang-kunang. Namun, tidak ada satupun yang memarahi tingkah Juna, jangankan marah satu kelas itu tak ada yang menolongnya. Hanya ada gelak tawa kesenangan. Juna menunjuknya sambil tertawa seolah itu adalah hal lucu yang patut ditertawakan. Apalagi melihatnya yang kesakitan, laki-laki itu tambah puas.
Ingatan menyakitkan itu berlalu. Yuna tersadar. Pandangannya menunduk. Kepalan jemarinya menguat. Ia memijit pelipis berusaha mengenyahkan bayangan itu dari pikirannya sampai sebuah panggilan menghentikannya.
"Ibu ..." Panggil Aza. Anak itu masih mengharapkan bola di depan sana.
"Aza," Yuna berjongkok mamandang putranya. Ia mengelus kepala anaknya dengan sayang.
"Aza, pilih yang lain saja ya?"
Bibir Aza maju, "memangnya kenapa dengan bola itu? Uang ibu tidak cukup?"
Yuna menarik senyum, "Beli mobilan saja ya sayang?"
Kepala anak itu menunduk. Kakinya bergerak-gerak mengusap tanah. Lalu mendongak, dengan ekspresi sama ia mengangguk.
Yuna mengulum bibir. Dan bangkit. Membelikan satu mobil mainan berwarna merah kecil disana. Kemudian menyerahkannya ke tangan Aza.
"Aza suka?"
Aza mengangguk.
Namun saat berbalik pergi, mata coklat kecil itu menoleh ke belakang mengamati bola tergantung disana.
***
14 November 2029
Vote dan komen 😉😉Oh ya di fizzo aku juga ada cerita mirip2 kayak gini judulnya Black Sugar bercerita tentang karma agak dark juga sih tapi nyangkut kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
General FictionWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...