Shei mengerjap.
Kelopak matanya membuka sempurna.
Pemandangan putih langit-langit rumah sakit dan lampu neon yang menyala menjadi pemandangan pertama saat ia membuka mata.
Bagian kanan dan kiri tempat ia berbaring berbatas sekat korden tebal berwarna biru tua.
Remaja belia keturunan Jepang itu menyadari jika ia lahir bukan dari keluarga yang kaya raya. Mungkin keluarganya tak mampu membayar untuk kelas VVIP hingga ia dirawat di kelas biasa.
Shei tak pernah mempermasalahkannya. Terlahir dari keluarga apapun dan dalam keadaan apapun yang terpenting keluarganya teramat sangat menyayanginya.
Shei mencoba menggerakkan tubuhya, tapi kabel-kabel kecil yang menempel di bagian dadanya membuatnya sulit bergerak.
Di samping tempat tidurnya ada mesin EKG yang terus saja menyala dan mengeluarkan suara.
Jika Shei mau jujur, ia tak mau mendengarkannya. Suara dari mesin itu hanya mengingatkannya saja pada masa-masa kelam masa kecilnya.
Dan Shei mengalami masa kelamnya kembali ketika ia sudah tumbuh remaja.
Mungkin waktu ini adalah waktu malam hari. Shei tidak tahu pukul berapa. Tidak ada seorangpun menjaganya sekedar untuk ditanya. Ketiga Kakaknya pergi entah kemana.
Sepi...
Shei menoleh kesana-kemari berharap ada seseorang menemani, tapi tak seorang pun ada bersamanya hingga beberapa menit telah dilewatinya.
Bagian tangan kanannya terasa kebas. Ada jarum kecil yang menancap dan terhubung dengan selang infus kecil yang panjang.
Selang kecil itu memanjang di sepanjang tiang penyangga dan terhubung ke sebuah kantong yang menggantung di atasnya.
Shei menggerakkan tangannya yang lain untuk memijat bagian kepalanya yang sedikit terasa pusing.
Mata bulat setengah sipitnya tak sengaja melihat benda berwarna biru menyerupai pita di pergelangan tangannya.
Ah--Pita pasien.
Shei tak mungkin tak mengenal benda seperti ini. Ada nama panjang dan tanggal lahir nya tertera di pita berwarna biru itu.
Shei selalu dipakaikan benda seperti ini jika sedang dirawat di rumah sakit ini. Bocah itu sudah sangat hafal sekali.
" Mas..." panggil Shei lirih pada salah satu kakaknya, netranya yang menatap sayu mulai memendar gelisah ke segala arah berharap salah satu dari mereka segera datang padanya.
Hening...
Tak ada suara lain menyapa gendang telinganya selain suara alat pendeteksi jantung di sebelahnya.
Mungkin kakak-kakaknya tak mendengarkan panggilannya.
Biarpun Shei tak melihat siapapun di ruangan ini, Shei yakin ia tidak mungkin dibiarkan seorang diri tanpa seseorangpun menemani.
Mungkin saja mereka sedang di luar ruangan. Pergi sebentar ke toilet atau sedang mencari makanan.
Shei akan mencoba memanggil mereka kembali.
" Mas.." panggilnya lagi setengah serak.
Shei sudah mencoba mengeluarkan semua tenaganya untuk bersuara, tapi suaranya masih terdengar lirih saja hingga tak ada salah satupun dari mereka datang padanya.
" Mas Katon.." panggilnya lagi memutar kepalanya kesana kemari.
Dari ketiga Masnya, entah mengapa ia ingin sekali memanggil namanya. Berharap Masnya yang paling tampan itu segera datang padanya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Youngest Brother, Sheiii !!! [END]
Teen FictionBagi Shei, jadi bungsu itu tidak seindah cerita tokoh-tokoh fiksi yang sering diceritakan teman-teman perempuannya. Mereka menceritakan kalau jadi bungsu itu selalu dimanja. Itu memang benar, tapi itu dulu, saat Bapaknya belum masuk penjara karena...