Ketika akhirnya kita bertemu lagi, aku hanya ingin bersamamu. Entah untuk berapa tahun ke depan, entah untuk menuju ke pelosok dunia manapun, di semua harapan dan kenyataan, aku hanya ingin kamu.
.
.
.|Skenario Langit|
"Kok kamu di sini?"
Aku terkejut melihat kehadiran Ilham yang benar-benar tak terduga dan tak sempat kuprediksi sebelumnya.
"Harusnya saya yang tanya, ngapain kamu di sini?"
Aku membulatkan mata.
Oh Allah, lelaki ini.
Sudah jelas-jelas ini kampusku, yang seharusnya ditanyai sekarang bukan aku. Apalagi dengan sorot mata tajam seperti itu."Ya... Ini kampusku, Ilham." Aku menjawabnya, meski sejujurnya enggan saat melihat sorot kemarahan di mata Ilham.
"Kamu gak seharusnya berada di kampus pada jam segini, ditambah mengobrol dengan lawan jenis di belakang layar seperti ini, Alea."
Seketika aku mematung dan menggigit bibir.
"Dia... udah gua anggep kaya adek gua sendiri. Maaf kalo gua bikin lo cemburu." Kak Shen menimpali, membuatku ingin sekali mengumpat mendengar ucapan itu.
"Bukan soal cemburu atau enggak, tapi ini soal adab dan batas-batas yang boleh dilakuin antara perempuan dan laki-laki." Ilham menjeda kalimatnya, lalu mengalihkan tatapannya ke arahku, "Ayo pulang."
Entahlah. Aku merasa suara Ilham lebih dingin dan siapapun yang mendengarnya pasti tahu bahwa meskipun Ilham melontarkan kata ayo, kalimat itu bukanlah sebuah ajakan, melainkan terkesan seperti perintah. Jadi mau tidak mau, aku harus mengekorinya dari belakang.
Sengaja tak mengalihkan tatapanku pada Kak Shen sebelum pergi. Rasanya... tenagaku untuk mengaguminya sudah habis. Padahal laguku sudah begitu jelas tadi, apalagi yang kurang?
Ilham masuk ke pintu depan, meninggalkan aku yang masih mematung. Astagfirullah, sabarkan aku menghadapi calon suami tidak manis seperti dia.
Aku membuka pintu mobil belakang, lalu duduk di sana. Suasana di dalam mobil benar-benar terasa sesak, meski Ilham sudah menghidupkan AC. Supir keluarga Ilham juga seakan mengerti bahwa kami dalam keadaan yang panas, hingga ia juga tidak melontarkan satu patah kata pun.
Aku merapatkan jaket, lalu melempar pandangan ke luar. Cahaya-cahaya lampu yang menerangi jalan, lalu lalang orang yang masih beraktivitas meski sudah larut malam, juga kendaraan-kendaraan yang berpapasan dengan kami di jalanan. Semua itu tak luput dari pandanganku.
"Lea."
Aku menoleh, tapi siempunya suara masih bergeming. Seolah menimbang kata apa yang pertama kali harus dikeluarkan.
Aku tidak suka cara Ilham marah tadi. Aku tidak suka caranya menegur aku dan Kak Shen. Perkataan Ilham seolah mengungkapkan bahwa Ilham tidak percaya aku bisa menjaga diri.
"Aku gak suka cara kamu negur tadi. Semua ada adabnya, Ham. Termasuk cara menegur orang." Akhirnya aku mengeluarkan suara lebih dulu, berhasil membuat Ilham mengubah ekspresi wajahnya.
"Kamu ingat saat kita kecil dulu?" Ilham malah menanggapi ucapanku dengan pertanyaan, membuatku berdecak sebal.
Aku hanya membalasnya dengan deheman. Tidak ada mood untuk mendengar atau menanggapi nostalgia tentang masa kecil kami di saat seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario Langit |Revisi-On Going|
Spiritual🗣️SEDANG REVISI, HARAP BERSABAR & MEMAKLUMI JIKA ADA BEBERAPA HAL YG BERUBAH DARI ALUR CERITA SEBELUMNYA. Jodoh. Adalah salah satu hal di bumi yang menjadi rahasia semesta. Tidak ada cara yang pasti untuk membuatnya datang mendekat juga tak ada ca...