Awal Penantian

38 6 4
                                    

***

"Yah.. Mungkin sekian yang dapat saya sampaikan. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang berkenan hadir dalam acara Pertemuan Donatur SMA Tarunagara kali ini. Selamat pagi dan salam sejahtera,"

Pria buncit berkumis tebal dan tiga orang anak yang mengekorinya segera menjauhi mimbar seusai mengulas senyum sopan. Kemudian berjalan mendekati para donatur untuk menyalami mereka satu-persatu seraya (lagi-lagi) ringan mengucapkan terima kasih.

Langkah kakinya terhenti oleh tatapan tajam pria-pria bertubuh besar yang sejak awal pertemuan terus berdiri di sekitar wanita elegan yang hadir untuk mewakili suaminya sebagai donatur terbesar sekolah. Wanita itu melempar senyum penuh penghormatan, membuat ketegangan pada wajah ketiga anak yang mengekori Si Buncit sedikit mereda.

Kemudian Ia mengatupkan kedua tangan yang dihiasi emas permata murni dengan milyaran rupiah pada setiap-- baiklah, tidak perlu dibahas. Nanti pembaca bisa mendadak sesak.

Ia bermaksud menyalami pria buncit, anak-anak, dan donatur-donatur lain dari jauh. Sekaligus pamit meninggalkan aula.

Merupakan hal yang biasa baginya berjalan di tengah-tengah pria bertubuh besar. Ini sudah terjadi sejak lebih dari dua puluh tahun lalu, atas kehendak suaminya.

Merasa terkekang?
Pada awalnya, ya. Tetapi yang terpaksa lama kelamaan dapat diterima karena terbiasa.

**

Bukannya menuju parkiran, langkah kaki wanita itu malah membawa mereka masuk lebih dalam ke area sekolah. Para Pria Berotot nampak bingung. Terlebih lagi saat Nyonya mereka mendekati daerah kantin. Laper ya, Buk?
Cih. Mereka bahkan membutuhkan keberanian besar hanya untuk sekadar lancang bertanya dalam hati.

Biarpun monster-look begini kan tetep aja manusia. Gak ada salahnya takut pamali, because kualat is real!

Dalam keramaian seperti ini, mata-mata mereka awas menatap setiap sisi. Mereka tidak bisa menganggap remeh siapapun yang berada di sekitarnya. Bukannya berlebihan, mereka hanya berusaha menjalankan tugas yang telah diamanatkan dengan baik. Tidak mau makan gaji buta, atau berakhir di tangan Tuannya karena lalai menjaga Sang Ratu. Toh, para siswa juga bisa menjadi ancaman terbesar kalau mereka semua berontak dan menyerang bersama-sama.

Lihatlah betapa banyak tatapan beragam yang memburu mereka saat ini. Kebanyakan pasang mata itu tertuju pada Sang Ratu yang memancarkan aura bersahaja seperti biasanya. Mereka mengubah formasi menjadi lebih protective.

"Maaf, Nyonya. Tuan berpesan untuk tidak memakan makanan--"

Ucapannya terpotong oleh tatapan wanita itu, lengkap dengan telunjuk yang memberi isyarat untuk diam. Dasar bawel. Kebiasaan. Pria-pria lain menggerutu dalam hati.

"Siapa yang bilang mau makan di sini?" Ia tersenyum geli melihat bodyguardnya menunduk dan menggumamkan maaf.

Pria itu mengangkat kepalanya lagi untuk kembali memberikan pengawasan. Kemudian matanya menangkap sesosok pemuda cemerlang yang sedang duduk bersama dua siswa laki-laki yang nampak tengil, dan seorang perempuan manis yang polos menatap ke arah mereka. Pria itu akhirnya mengerti mengapa Sang Ratu membawanya kemari.

Di penghujung acara tadi, bel istirahat berbunyi. Wanita itu terpikir untuk mengunjungi kantin dan menemui anak sematawayangnya di sana. Ia tidak pernah menyiapkan bekal sejak Muizz masuk SMP. Membiarkan anaknya merasakan beragam makanan di kantin sekolah.

Senyumanmya mengembang begitu saja saat mata mereka saling bertemu. Muizz menghampirinya dengan segera, menyalami dan dan menyapanya penuh hormat. Bangga sekali melihat Muizz dengan kepribadiannya yang gemilang. Ia merasa jadi salah satu dari deretan orang tua yang berhasil mendidik anak.

WarmthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang