Hujan masih belum begitu deras ketika Daris dengan wajah kuyunya mengetuk pintu kamar indekos November tepat pukul tiga dini hari.
Daris tampak lebih tua dengan kantung mata yang menebal dan kulit yang menggelap. Titik-titik air singgah di bahu yang hari ini tidak tegap.
"Bangsat! Bikin gue jan..."
"I miss you," ucap Daris, menghentikan kesah yang baru akan dimulai November. Dia menutupnya dengan pelukan yang sedikit kaku.
"Doy, lo kenapa?" tanya November. Ada banyak terka yang menurutnya tidak perlu disuarakan.
"Makasih," lirih Daris tepat di telinga kanan November, "aku kembali utuh,"
November mendadak rikuh.
"Doy, lo kesambet apa di hutan?"
Daris melepas pelukan. Mundur tiga langkah kebelakang untuk bersandar pada dinding seberang pintu.
"Aku kembali utuh, karena kamu," ucap Daris diselingi tawa kecil.
"Gue?" November bertambah heran, "Doy lo kenapa sih?!"
Daris menjawab dengan senyum lebar. November kehilangan ruang untuk menyembunyikan rasa gugupnya.
"Aku minta maaf kalau selama ini kurang peka," ucap Daris lamat-lamat sambil menunduk-menatap jarinya sendiri, "tapi sekarang aku sadar, selama ini kamu orangnya,"
"Doy?"
Daris mendekat, mengeliminasi jarak antara dia dan November yang masih diam kebingungan.
"Aku minta maaf," bisik Daris.
Dari jarak ini, November dapat dengan jelas melihat kerutan halus di dahi Daris, garis tawa di pipinya yang tidak begitu dalam, dan biji matanya yang ternyata tidak sehitam yang November biasa lihat.
Cokelat. Bola matanya berwarna cokelat tua.
"Aku minta maaf," ucap Daris entah untuk kali keberapa,November tidak sempat menghitung.
Yang November ingat, hujan turun sangat berisik-menghujam atap asbes indekosnya, ketika Daris mendaratkan ciuman 15 detik yang terasa sangat lama.
"Aku minta maaf Artha," bisik Daris di sela-sela nya.
November berusaha tidak mendengar nama itu, kepalanya penuh dengan suara hujan.
Juga bisikan bahwa selamanya Daris tidak akan pernah memberinya kesempatan untuk menjadi pelengkap.
//
//
TBC